Dia melihatnya dari seberang jalan, membuatnya gagal mengalihkan pandangannya saat dia berkelit di antara mobil yang melaju.
Berdiri di depan jendela toko, dia hampir tidak bisa bernapas saat menyentuh kaca.
Dia melangkah masuk dan seorang pramuniaga meluncur ke arahnya.
Dia menunjuk, dan bibirnya terasa kering saat berkata singkat, "Itu."
"Nomor lima koma lima, Bu."
"Sempurna."
Dia duduk di kursi beludru dengan perasaan berada di ambang sesuatu yang unik.
Dengan rasa hormat yang berlebihan, pramuniaga mengangkat sepatu dari sandaran penyangga Perspex dan menyerahkannya. Kecantikan sepasang alas kaki itu membuat matanya berkaca-kaca saat dia menggerakkan kukunya ke bawah tumit berduri, mengelus sisik dan sol merah yang halus.
"Sensasional, bukan?" kata pramuniaga berdesah. "Dari kulit ular piton jahitan tangan. Setiap pasangan sebagai pribadi dari hewan itu sendiri."
Napasnya terengah mengembus keluar dari bibirnya saat dia membaca harganya, tetapi dia melepaskan sepatunya sendiri dan lupa bahwa dia pernah begitu menyukainya.
Pramuniaga berlutut untuk mengarahkan kakinya ke dalam interior berlapis lembut yang terasa ramah dan hidup. Punggungnya menggigil oleh sensasi kenikmatan yang dia rasakan saat dia menyerahkan kartu kreditnya. Tak terpisahkan dari pembeliannya, dia memakainya keluar dari toko, membawa sepatu lamanya di dalam kantong kertas yang apik.
Dorongan keinginan yang kuat untuk pergi menari membuatnya menelepon teman-temannya.
Mereka bertemu di bar, di mana dia duduk di bangku tinggi dengan kaki bersilang, mengundang perhatian.
"Oooh," kata salah satu dari mereka. "Sepatu baru. Bolehkah aku mencobanya?"
 Dia melihat ke bawah, ragu-ragu, lalu tersenyum dan menggelengkan kepalanya. "Mungkin nanti. Mari berdansa."
Dan lihatlah bagaimana dia menari! Kerumunan penonton yang membuat lingkaran di sekelilingnya saat dia bergoyang-goyang di lantai, kakinya menenun pola rumit dengan percaya diri dan anggun.
Dia yang terakhir berhenti, kelelahan tetapi gembira melampaui apa pun yang pernah dia rasakan sepanjang hidupnya.
Dia ambruk ke tempat tidur dengan pakaian lengkap. Sepatu itu menolak usahanya yang setengah hati untuk melepaskannya dan dia tertidur karena merasa lelah yang sangat.
Dalam pelukan lelap yang meremukkan, dia bermimpi ditelan bulat-bulat dan dicerna hingga lumat. Pahanya bergetar di bawah sentuhan kekasih yang tak terlihat dan keringat menetes di antara payudaranya saat dia menggeliat dan berputar dalam ekstasi.
Saat terbangun gelagapan berjuang untuk mendapatkan udara, kegelapan yang membutakan di sekelilingnya, terkurung di antara dinding yang hidup, dia tak bisa menggerakkan apa pun selain jari kakinya dan gerakan seperti gelombang menekan napas dari paru-parunya saat dia meluncur nyaris hilang ingatan.
Kilasan hidupnya berkedip-kedip dengan ketajaman nyata  dan tak kenal ampun dan, untuk pertama kalinya, keraguan menusuk hati nuraninya. Dengan kesadaran yang datang, dia berdoa untuk penebusan dosa.
Sebentuk gambar muncul dari kegelapan: beberapa kata di atas tercetak di atas bahan kertas yang apik. Tas ramah lingkungan, dapat terurai secara hayati.
Merasa bersalah, dia meninggalkan kehidupannya yang dekaden, dan objek keinginannya meluncur kembali ke tiang penyangganya untuk menunggu konsumen berikutnya.
Tidak akan lama sebelum rasa lapar itu menyerang lagi.
Bandung, 4 Februari 2023
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H