Aku dulu tinggal di tepi muara sungai. Air surut, kamu akan melihat burung-burung yang mengarungi lumpur dan bebatuan. Lingsang di gundukan pasir, di dekat tiang jembatan kereta api tua yang patah. Bahkan terkadang lumba-lumba melewati pelabuhan, terlalu jauh untuk dapat dilihat dengan jelas. Aku tidak pernah bisa menggunakan teropong. Okularnya menabrak kacamataku.
Kita berjalan di pantai Mantaritip, musim kemarau sebelum menjadi sepasang kekasih, dan menyaksikan ombak menghempaskan bangau yang marah ke dinding pelabuhan. Musim hujan, aku membelikanmu cincin perak dengan bangau di atasnya, membingkai batu mirah berbentuk hati. Aku tidak tahu apa yang terjadi.
Gelombang pasang menyapu kaki kita. Terdengar sangat romantis. Arus cinta membawa segala sesuatu sebelumnya, tidak ada cara tapi untuk terus ke depan. Tidak ada habisnya. Kekuatannya membuatku terengah-engah, membuatku takut dan pusing. Aku tak pernah bisa menjadi perenang yang bagus.
Sebuah sungai yang pasang dengan sendirinya. Pasang surut dan arus menarik ke arah yang berbeda. Aku biasa kembali setiap musim liburan untuk berkumpul dengan teman-temanku dan berjalan-jalan di muara.
Dulu aku dan kamu. Kini, aku sendiri.
Aku tinggal di tepi laut kadang-kadang. Kamu akan menyukainya.
Saat air pasang surut, pada equinox pergeseran musim semi atau musim gugur di belahan dunia lain, cahaya matahari yang lembut hampir seperti susu membawa ketenangan.
Aku melihat para nelayan dalam perahu cadik di atas air yang berkabut, pasangan berjalan-jalan dan anak-anak serta anjing bermain di hamparan luas pasir yang berkilau.
Bandung, 30 Januari 2023
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H