"Plan B?" tanya Miko yang sedang mencuci sandalnya yang berlumpur di air.
"Ya. Kita bisa mengikuti sungai jika bantuan tidak datang. Dengan cara itu mungkin kiat akan sampai ke peradaban, seperti desa atau semacamnya." Zaki berlutut dan memutar-mutar tangannya di dalam air. Dia mungkin telah sampai pada kesimpulan bahwa ini adalah air terdekat yang akan mereka dapatkan dibandingkan wastafel, bak mandi, atau bahkan shower.
"Gue sih, setuju," kata Miko.
Tiwi mencelupkan tangannya ke sungai yang sejuk dan membilas lengan dan wajahnya, lalu memercikkan air ke semua noda kotoran di bajunya. Lendir laba-laba hijau kotor langsung keluar, dan itu adalah hal yang baik, karena pikiran tentang usus laba-laba yang menempel padanya membuatnya muntah. Toh, dia bukan Lara Croft.
Tatapan Zaki beralih padanya. "Gimana menurut lu tentang rencana gue?"
"Kedengarannya seperti Plan B bagiku, selama kita tidak bertemu lagi dengan laba-laba."
Tiwi menggigit bibir saat sebuah pikiran muncul di benaknya. Mengikuti sungai itu tidak akan membantu mereka sedikit pun jika pulau ini tidak berpenghuni, tapi dia yakin itu bukan masalah. Mereka akan segera diselamatkan. Orang tuanya akan mencari tanpa henti, bagai duri di bokong Penjaga Pantai. Kecuali...Tunggu! Apakah Tim SAR bisa sampai sejauh ini? Mungkin itu akan menjadi tugas Angkatan Laut. Mama dan papanya akan menekan seseorang laksamana sampai putri mereka ditemukan.
Saat Tiwi membungkuk untuk mengikat tali sepatu, sebuah benda keras terjepit di pinggulnya. Dia merogoh saku dan mengambil ponselnya. Jantungnya berdebar kencang. Dia lupa bahwa dia membawa ponsel. Jika berhasil, maka tidak perlu masak air, membelah kelapa atau Plan B atau apa pun!
Meski menekan tombol ON berkali-kali, layar tetap hitam. Tidak berfungsi.
Tiwi ingin menangis dan menjerit dan melemparkan ponsel yang tidak berguna ke sungai, semua pada saat bersamaan. Bahkan mungkin menginjak-injaknya hingga berkeping-keping.