Kami disuruh keluar.
Gunakan imajinasi kalian. Lihatlah semak-semak dan bayangkan sesuatu atau seseorang ada di sana.
Bersama yang lain, aku keluar ruangan dan berjalan melintasi halaman, mata menyipit di bawah sinar matahari.
Aku bisa mencium aroma manis padang rumput dan serbuk sari. Lebah berdengung, sangat sempurna di sekitar kamperfuli. Aku melihat sepetak rumput liar, gelap di bawah pagar tanaman, jauh dari kelompok lainnya. Aku berjongkok dan menunggu.
Peri, naga kecil, bukan hobbit, kucing hitam putih gemuk dengan tikus mati di rahangnya.
Tapi tidak, bukan itu.
Bentuknya kecil dan bulat seperti batu kerikil, tetapi warnanya kurang tepat, terlalu merah muda untuk sebuah batu, tidak cukup merah muda untuk sebuah kelopak bunga.
Aku menjulurkan tanganku melalui ranting, semak duri dan jelatang. Mengulurkan jari telunjukku untuk melakukan kontak.
Kulit mengenali dirinya sendiri dalam sekejap dan ujung jariku mengenali yang lain.
Aku menahan jeritan di balik gigiku.
Tidak. Tidak mungkin.
Aku mundur dan mencari-cari seseorang untuk memberi tahuku, "Bukan. Jangan konyol. Itu Cuma batu kerikil. Ya, warnanya merah jambu yang lucu, bukan?"
Atau, "Bukan, ini daun pohon dedalu. Lucu, kamu salah mengira itu jari manusia!" Tapi tidak ada orang di sana.
Hanya sepotong jari.
Kemudian, tanah terbelah. Seluruh tangan terulur mencengkeram kakiku. Mengunci erat tulang keringku dan menarik dengan kekuatan yang hanya ada di pusat bumi.
Aku terperosok ke dalam bumi. Mulutku penuh dengan tanah, kelopak mataku terjepit dengan kuat. Anggota tubuhku terpelintir seperti akar pohon, dadaku terhimpit padat.
Yang tersisa di permukaan hanyalah ujung jariku. Pasti hanya terlihat sedikit seperti kelopak atau kerikil, tetapi agak terlalu merah muda, atau kurang merah muda.
Bandung, 26 Januari 2023
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H