Jika aku tidak selektif memilih tentang kebenaran, apakah pengunjung masih akan meletakkan uang di tangan yang berubah-ubah antara keputusasaan dan keniscayaan? Ketika gambar-gambar terbentuk di udara, memberi petunjuk tentang nasib mereka, aku ingin menangkap rasa sakit dan kekecewaan dan menguncinya dalam sebuah kotak.
Seorang wanita datang mencari kepastian dari kartu, putranya mengikuti di belakang. Saat menyusun kartu, aku mencoba untuk tidak menatap bocah itu. Wajahnya lebih putih dari taplak mejaku. Angka kematian seimbang di atas kepalanya, berkedip lima belas. Arang menodai lekukan angka lima, abu bertebaran di bahunya, pencabut nyawa pasti sudah menanti di sisi tempat tidurnya. Aku menahan keinginan untuk menanyakan usianya.
Sang ibu duduk memajukan kursinya, mengetukkan kakinya sesuai dengan jam di dinding.
Dia memperhatikan tanganku. Mata kami bertemu dan sekilas pengertian melintas di antara kami.
Aku mengungkapkan simbol harapan untuk ibu, menceritakan tentang penyelarasan bintang, cerita yang ingin dia dengar. Hembusan napas lega melingkar di udara, ketegangan dari tubuhnya leleh ke kursi saat dia tersenyum dan mengucapkan selamat tinggal.
Anak laki-laki itu berbalik untuk membisikkan terima kasih dan jari-jariku membelai kartu Kematian yang selalu tertinggal di bawah tumpukan.
Bandung, 26 Januari 2023
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H