Mohon tunggu...
Ikhwanul Halim
Ikhwanul Halim Mohon Tunggu... Editor - Penyair Majenun

Father. Husband. Totally awesome geek. Urban nomad. Sinner. Skepticist. Believer. Great pretender. Truth seeker. Publisher. Author. Writer. Editor. Psychopoet. Space dreamer. https://ikhwanulhalim.com WA: +62 821 6779 2955

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Skandal Sang Naga (Bab 5)

18 Januari 2023   19:19 Diperbarui: 18 Januari 2023   19:22 630
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
dok.pri. Ikhwanul Halim

Di tikungan berikutnya, aku meminta sopir untuk berhenti, dan ketika membayar sopir, aku berpikir bahwa memberikan komentar ringan tentang situasi ini diperlukan. Selalu ada kemungkinan dia akan melaporkan ke polisi, dan kemudian aku akan dibuntuti oleh seorang beramput cepak berpakaian seperti mahasiswa. Jadi aku menggumamkan tentang seorang gadis cantik di pesawat dan ingin mencari tahu di mana dia tinggal. Ternyata aku tak perlu repot-repot. Dia hanya mengangkat bahu, "Oki Doki."

Menyusuri jalan yang membentang di sudut kanan jembatan, aku tiba di sebuah hotel kecil. Jangan harapkan hotel seperti itu akan mendapatkan satu bintang saja di tripadvisor, bahkan namanya saja tak muncul di panduan hotel. Namun, lantai keramik di lobby bagian penerima tamu baru saja dipoles, dan aku bisa melihat pantulan wajahku di permukaan logam meja resepsionis. Aku mendpatkan kamar dengan perabotan sederhana tetapi sangat bersih dan menghadap ke jalan.

Setelah menanggalkan pakaian dan membongkar koper untuk mengeluarkan satu setelan yang kubawa, aku mandi dengan singkat. Setelah berpakaian, aku pergi keluar dan membeli buku panduan wisata.

Di sebuah bar yang sederhana, aku membolak-balik panduan, mencari posisiku di peta. Akhirnya aku menemukan Tianzi Fang tanpa banyak kesulitan, mengingat rute ke sana dari lokasiku sekarang. Setelah membayar bir lokal yang kuminum, aku pergi keluar menuju Naga Cina.

Zhnggu Lng restoran khas Cina, dengan meja rendah. Aku selalu memperhatikan pelanggan di meja luar sebelum memutuskan untuk masuk. Jika mereka terlihat seperti penduduk setempat dan tidak ada turis yang membawa kamera di antara mereka, aku yakin makanannya enak dan harganya masuk akal. Naga Cina memenuhi syarat. Namun, aku tidak masuk ke dalam.

Aku berkeliling selama dua jam, berusaha beradaptasi dengan cuaca. Kabut datang dari laut bercampur dengan polusi membentuk kabut kuning, dan karena aku sangat membutuhkan minuman dan makanan untuk menghangatkan tubuhku, aku memutuskan untuk kembali ke Tianzi Fang.

Jalan itu dipenuhi dengan bar dan restoran dengan neon sign. Aku sudah terlalu haus dan lapar untuk menjadi seorang pemilih, jadi aku langsung berbelok ke pintu pertama yang kutemui.

Suasana restoran kecil itu ditujukan untuk memancing turis. Pelayan dengan jubah sutra murahan dengan kuncir yang disampirkan di bahu, meja bar panjang dengan bartender yang akan menjawab setiap pertanyaan dari 'Johny', sebutan untuk turis asing dari negara mana pun.

Hanya untuk berbaur dengan sekitar, aku menenggak dua botol bir lokal tanpa jeda, lalu seperti naga yang diisi bahan bakar, duduk di meja.

Setelah hausku hilang, aku membuka buku menu yang penuh tulisan kanji dengan bahasa Inggris yang sulit dipahami, jadi aku memilih makanan dengan tanda pilihan chef, sepiring nasi goreng bebek, yang rasanya ternyata lebih baik dari yang kubayangkan.

Pada saat aku menenggak botol bir ketiga sambil mengisap rokok, aku memikirkan apa yang kudapat pada hari pertama membuntuti Ranya Vachel.

Sejauh ini, aku cenderung setuju dengan Prima. Dia cukup terbuka di pesawat--- menyebutkan minatnya pada seni dan bisnis barang antik dan menyebut tunangannya dengan kealamian seorang gadis yang tidak menyembunyikan apa pun.

Aku memikirkan Yudhi Salim. Seorang pialang saham tampak seperti tunangan yang musthail untuk seorang gadis yang bergaul dengan tipe orang yang menarik minat Joko Seng. Aku menyesap birku.

Yudhi Salim benar-benar pria sialan yang beruntung!

Kembali memikirkan perbincangan di pesawat. Dia sama sekali tidak menunjukkan sikap mengelak ketika aku menanyainya tentang kunjungannya ke Shanghai. Atau...

Tiba-tiba, aku mematikan rokokku, mengingat bagaimana dia menghindari topik pembicaraan ketika aku mendesak ke titik tentang....

Aku menyalakan rokok lagi dan mengeluarkan asap dari paru-paruku ke udara.

Itu dia.

Dia mengalihkan pembicaraan ke apa yang aku lakukan di Shanghai sebagai balasan atas rasa ingin tahuku yang sedikit kurang ajar.

Suara seorang pria memesan minuman tiba-tiba mengingatkanku pada orang Amerika itu. Di bagian mana dia berada dalam gambaran ini?

Dia mungkin saja terlihat sebagai turis biasa, padahal ada dua dari kami yang membuntuti Ranya Vachel.

Atau, mungkin saja dia memang lelaki yang mengejar seorang gadis cantik.

Kesimpulan yang masih setengah matang.

Aku membayar tagihan dan kembali ke hotel.

BERSAMBUNG

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun