Luhut Sitompul terbangun dalam sunyi. Luhut tidak terbiasa sunyi. Bahkan burung sialan pun berhenti bernyanyi.
Tidak ada bunyi logam beradu atau desis minyak goreng dari dapur. Tidak ada suara air dari kamar mandi, atau rintik hujan di atas atap yang didengarnya setiap pagi selama yang bisa diingatnya. Tidak ada teriakan dari putrinya, "Di mana sepatuku, Mak?"Â
Tidak ada bunyi langkah kaki di lantai kayu tua. Tidak ada dengus napas kembang kempis. Tidak ada apa-apa.
Satu-satunya suara adalah napas Luhut yang terengah-engah setelah terlalu banyak rokok dan terlalu banyak tuak di Lapo Nando tadi malam.
Kalau kau mabuk seperti Luhut, kau akan mengira dia akan senang dengan kesunyiannya. Tapi Luhut tidak senang. Luhut terluka. Luhut sangat terluka.
Dia menopang bantalnya seperti yang dilakukan istrinya Tiur setiap malam sebelum membaca salah satu buku novel roman.
Sialan dengan cerita roman, kata hati Luhut. Novel sialan yang menaruh ide-ide aneh di kepala Tiur. Buku-buku itulah yang membuat Tiur menginginkan lebih dari yang bisa diberikan Luhut.
Dia kehilangan istrinya, putrinya, bahkan anjingnya.
Tapi Luhut masih memiliki harga dirinya.
Tapi harga diri tidak menjual lagu pop.
Luhut mengambil gitarnya dan berpura-pura harga dirinya telah menyusul ke ibu kota juga.