Senyum muncul di wajahnya, dan Bagas tahu bahwa ini sama benarnya dengan kehadiran Kadir pada malam itu. Kadir telah membunuh wanita itu dengan berada di sini malam itu. Sebuah pikiran mengerikan menghantamnya, tetapi dia mengabaikannya. Setidaknya, dia mencoba untuk mengabaikannya.
Menaiki tangga, Bagas terus mengawasi Kadir. Kadir tampaknya tampaknya tak terjangkau pikirannya. Dia bahkan mungkin suka membunuh orang, karena dia punya selera untuk itu.
Dengan kekhawatiran akan Kadir, Bagas lupa alasan sebenarnya mereka datang ke rumah duka. Apa yang dilihatnya berpura-pura menjadi ayahnya pada hari itu tidak bisa dibandingkan dengan seorang pembunuh berusia dua belas tahun yang kebetulan berdiri tepat di sampingnya.
Gelap yang meliput tangga di belakang mereka luput dari perhatian. Bagas karena dia mencemaskan Kadir, dan Kadir karena sejujurnya dia tidak mau percaya itu ada.
Selama beberapa menit, kegelapan menyelimuti dasar tangga. Saat itu, kedua anak laki-laki itu berhasil mencapai puncak dan mulai menyusuri aula.
Kegelapan menghampiri mereka. Mereka tidak tahu itu ada di atas mereka sampai sebuah kekuatan menimpa bahu Kadir, membuatnya jatuh ke lantai. Tulang selangkanya patah seketika, dan membuat paru-parunya hancur. Napasnya terengah-engah. Semburan darah keluar dari mulut Kadir saat dia berusaha mati-matian untuk meneriakkan peringatan.
Hanya darah yang diperlukan untuk membuat Bagas berlari ke lorong panjang menjauh dari tangga. Teror menyerang membuatnya berlari lebih cepat dari yang pernah dia lakukan dalam hidupnya. Dia tidak pernah sadar bahwa dia pernah berada di lorong ini sebelumnya. Suatu saat ketika dia terbangun untuk menemukan bahwa dia hanya bermimpi yang menakutkan. Dia tidak begitu beruntung kali ini.
Aula itu sepertinya tidak pernah berakhir. Berusaha mencapai pegangan pintu, dinding menyusut dari tangannya. Dia kini tahu apa yang disebut tanpa akhir. Lorong itu ttak berujung.
Tiba-tiba, tangan-tangan muncul dari dinding dan mencakar tubuhnya. Dia tidak bisa melarikan diri dari mereka! Tangan-tangan itu menggali kulitnya hingga darah dengan setiap tebasan. Kegelapan di ujung jauh aula mulai berputar dengan cepat. Dia harus melawan. Ketakutan membuat tenaganya bertambah  dan dia AKAN mencapai ujung aula. Tetap saja, cakaran tangan tak bertubuh itu mencabik-cabiknya, dan rasa sakit menyiksanya. Dia harus terus berusaha ...  Dia harus terus berlari....
BERSAMBUNG
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H