Pelarian Putri Aurora sejauh ini sempurna, selain kemben pembebat yang membuat dadanya lecet demi penyamarannya.
Dia berjalan menuju Kerajaan Baru, yang tersembunyi bahkan dari tentara kerajaan ayahnya yang paling teliti di dekat hutan bertudung rimba yang rapat, sampai suara pekikan membuat burung-burung terbang dari sarangnya.
Aurora berlari ke arah suara itu.
Di lapangan terbuka dia tersandung kelinci yang ketakutan. Kakinya yang patah tergantung pada jerat besi. Menjepit perangkat itu dengan batu, Aurora dengan lembut menarik kaki makhluk yang terluka itu hingga bebas.
Kelinci yang gemetar itu melompat menjauh, telinganya berputar-putar dan mengecil kembali ke kepalanya.
Bulu-bulu rontok berjatuhan dari tubuh makhluk itu yang terpuntir dan tercerabut hingga gundul dan memenuhi lantai hutan. Aurora melangkah mundur, dan kelinci itu telah menjadi manusia.
"Terima kasih,"suara serak pria muda telanjang yang berdarah-darah itu. "Aku Pangeran Stefan. Seorang penyihir mengutukku, mengatakan bahwa hanya Cinta Sejati yang dapat membebaskanku."
"Sungguh mengerikan," kata Aurora, cemas menebak akan apa yang akan terjadi selanjutnya, "Tapi aku sudah terlambat."
"Menikahlah denganku!" Stefan memohon. "Ayah saya tidak akan keberatan kalau kamu laki-laki, dia berpikiran terbuka."
Mengingat penyamarannya, pipi Aurora memerah. "Mengapa semua pangeran harus seperti ini? Aku baru saja lolos kawin paksa. Ini tidak masuk akal!"