Harga bayangan hanya enam puluh lima. Lepas atau masih terikat kulit.
Dohree menjualnya per potong, bukan per kilo. Laku menjual dengan cepat di pekan Sabtu, dua atau tiga potong oleh pembeli untuk digantung di ambang pintu atau disimpan di bawah bantal kekasih.
Dia selesai ketika senja datang mengukur luas kios reyot tempat dia menyebarkan barang dagangannya dan tidak menemukannya. Maka senja menyembunyikan rasa malunya di balik selimut malam.
Dohree berjalan bolak-balik dan bolak-balik, seperti angin sepoi-sepoi yang menggoyang ayunan bertali. Dia memastikan bayang-bayang tidak mengikuti ke rumahnya, karena dia tidak ingin membawa mereka ke anak-anaknya yang masih balita.
Di rumah, anak-anak lapar tergeletak di lantai, tidur. Dia memeluk dan mencium kening mereka, berbaring di samping mereka, memaksa dirinya untuk tidur.
Dia harus bangun pagi untuk memotong dan mengukir bayangan baru untuk dijual.
Jika saja dia lebih trampil, masing-masing bayangan akan seukuran, tiga dimensi, cukup baik untuk ditempatkan di dipan atau kursi cadangan di dekat jendela. Sama baiknya dengan hidup, ramah dan peduli. Namun untuk saat ini, mereka hanya meluncur dan menetes, menari dengan meriah, membelai yang kesepian.
Kolektor datang mengetuk saat fajar menyingsing. Bayangan pesanannya masih belum selesai.
"Berapa?"
"Enam untuk satu harga," Dohree menjawab, hampir tidak terdengar, karena dia takut akan amarahnya.
Itu adalah bayaran untuk mempertahankan keberadaannya di planet ini, karena Kolektor bisa membuat anak-anaknya menjadi yatim piatu.
"Aku terima."
Kolektor menyelipkan keping-keping koin dari bawah ambang pintu dan berkesiur pergi sebagai desir angin dadakan untuk menagih jiwa orang lain.