Tiwi mengamati jurang itu--turunan tegak dengan kedalaman ratusan meter, dengan lebar setidaknya sepuluh meter ke sisi lain. Formasi curam dan berbatu dari dua tebing yang berlawanan membuat dia mengerutkan kening. Setidaknya leher akan patah jika mereka mencoba untuk turun, Â atau lebih buruk lagi, satu langkah yang salah, dan mereka akan menjadi sate pada dari jutaan menara batu merah setajam silet yang melapisi lantai ngarai.
Dia mengamati pepohonan, semak-semak, dan pakis untuk mencari rute pelarian yang lebih layak. Tidak ada.
Laba-laba yang perlahan-lahan maju seperti monster kuno di film kelas-B. Matikan proyektornya! Dia menggigit bibir.
"Mereka datang! Kita perlu menghentikan mereka sementara kita mencari tahu apa yang harus dilakukan."
"Aku saja." Miko menyerbu ke arah kerumunan laba-laba, berteriak seperti prajurit menuju medan perang sambil mengayunkan tangannya dengan liar. Dia melambaikan kemeja Zaki ke arah arakhnida seperti obor yang menyala untuk mengusir binatang buas. Laba-laba bergegas mundur, mendesis seperti seribu ular yang marah. Berapa lama cara ini akan berhasil?
Di dasar ngarai ada beberapa pohon yang menyerupai Redwood. Tudungnya menjulang di atas kepala Tiwi. Dia menunjuk. "Kita bisa meliuk-liuk salah satunya!"
"Ide bagus," kata Zaki, "tapi itu seperti menuruni gedung berlantai tiga puluh lima tanpa peralatan yang memadai."
Mikoe menggelengkan kepalanya. "Ditambah lagi, menurut lu makhluk aneh berkaki delapan ini nggak akan ngikutin kita? Mau dijadiin mumi di pohon raksasa?"
"Tentu saja tidak," jawab Tiwi, meskipun dia tidak yakin apa pilihan lain yang mereka punya. Dia membuka kancing baju luarnya yang basah oleh keringat, memindai area itu untuk mencari jalan keluar lain.
Miko menyodorkan sebatang sulur yang panjang setebal tali dari salah satu pohon yang tumbuh di dekat tepinya. "Nah, kalau begitu ... waktunya menjadi Tarzan."
"Apa? Kita akan berayun melintasi jurang ? Kamu pasti ngigau! Kamu yakin satu laba-laba itu tidak menggigitmu?"
Tiwi menoleh ke belakang dan terkesiap. Pasukan pemburu yang gesit masih menguntit dan mengejar mangsanya, mungkin menghitung mundur detik sampai mereka bisa menancapkan taring mereka ke dalam badannya. Dibungkus seperti mumi dan darahnyadisedot sampai kering jelas bukan pilihan.
Dia mencengkeram sulur anggur dan berdoa agar tidak putus, berharap rencana gila Miko akan berhasil.
Zaki menarik napas dalam-dalam dan mengenakan kembali kemejanya. "Siap?"
Meski kakinya gemetar, tapi Tiwi tak mau mengaku bahwa dirinya takut. Miko dan Zaki mengharapkan dia untuk menjadi kuat, seperti salah satu dari mereka. Dia mengusap dahinya dan mengangguk, siap melakukan apa pun untuk menyelamatkan nyawa mereka.
***
Butir-butir keringat bercucuran di wajah Tiwi. Dikejar oleh laba-laba dan berayun melintasi ngarai bergantung pada batang anggur yang bisa patah setiap saat membuatnya 'gelisah' ke tingkat yang belum pernah dirasakannya. Itu akan menjadi lompatan sepenuh iman ... secara harfiah.
Zaki mencengkeram pohon anggur dengan erat sampai buku-buku jarinya memutih. Dia menariknya dengan keras dan kemudian berbalik menghadap Tiwi. "Ini akan menahan berat lu," dia meyakinkan Tiwi.
Bibir Tiwi menyatu membentuk garis tipis. Zaki meremas tangannya untuk meyakinkan. "Lu pasti bisa."
"Tentu saja aku bisa," bisik Tiwi. Dia mengangguk dan melirik dari balik bahunya untuk terakhir kalinya. Hanya beberapa meter  ratus mata memelototinya, dan dalam sekejap, laba-laba melompat. Dalam satu gerakan sigap, dia mencengkeram sulur anggur, menjejak, dan mengayunkan di udara. Hembusan angin sejuk menerpa wajahnya, suaranya menderu di telinga. Gesekan sulur dan derit dahan karena tekanan berat badannya membuatnya mengerang.
Kalau sampai benda di tangannya putus atau patah ...
BERSAMBUNG
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H