Mohon tunggu...
Ikhwanul Halim
Ikhwanul Halim Mohon Tunggu... Editor - Penyair Majenun

Father. Husband. Totally awesome geek. Urban nomad. Sinner. Skepticist. Believer. Great pretender. Truth seeker. Publisher. Author. Writer. Editor. Psychopoet. Space dreamer. https://ikhwanulhalim.com WA: +62 821 6779 2955

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Batas-Tak-Bertuan (XXII)

6 Januari 2023   22:39 Diperbarui: 16 Januari 2023   08:38 303
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
dok. pri. Ikhwanul Halim

Niatnya mulia atau sebaliknya, Musashito memiliki pelacak, perangkat yang dinyatakan Jarum Muka Pucat dimiliki oleh pengkhianat kaki busuk. Bukti adalah bukti, bahkan jika itu benar-benar bertentangan dengan dua setengah tahun terakhir dan bayangan yang dikira orang tua itu sebagai Dunia Barat.

Itu tidak masuk akal, tetapi banyak hal di Dunia Timur tidak lagi masuk akal.

Malin menghela napas, mengikuti Rina'y di jalan berliku di antara kubangan pasir berdebu. Yang lain menyebar dalam barisan di depannya. Musashito memimpin jalan.

Apakah dia akan membawa mereka ke jurang kematian? Tidak ada yang mengejutkan Malin saat ini, tetapi tidak. Dia bertanya-tanya mengapa, karena lelaki tua itu telah berkali-kali mengarahkan pelontar tombak ke kepalanya.

Tanpa sadar membuntuti kaki palsu di depannya, Malin tidak melihat Rina'y berhenti dan hampir menabraknya.

"Ya ampun, apa yang kamu lakukan?"

Rina'y melirik dari balik bahunya ke segala penjuru, berputar, lalu menuju ke arahnya. "Aku harus ke dermaga. Kapal yang datang harus mendapat tempat berlabuh dan kedatangan harus dilaporkan ke Persemakmuran supaya mengirim yang lain. Kita sudah menunggu persediaan musim ini. Mereka terlambat. Kita sangat membutuhkan itu. Air bersih kita hampir habis. Aku harus mengabarkan Persemakmuran."

Dia berjalan melewati Malin. Rambut pucatnya melambai seperti benang, kecuali potongan terbakar yang menempel di kulit kepalanya.

Malin berjalan mundur, mengikutinya. "Kamu tidak bisa pergi sendiri. Akan ada lebih banyak gangguan. Itu terlalu berbahaya."

"Aku ragu Musashito berpikir untuk kembali sekarang."

Rahang Rina'y mengeras. "Kita membutuhkan perbekalan itu."

"Rina'y!" Musashito berteriak seperti komandan tentara. "Aku perintahkan kamu untuk berhenti. Kamu tidak bisa pergi, sayang. Kami membutuhkanmu. Lagi pula Hungyatmai akan segera mendarat. Kamu tahu mereka akan mendarat. Mereka selalu mengacaukan segalanya. Jadi, mari selesaikan ini sebelum mereka melakukannya."

Malin meraih tangan Rina'y. "Menyakitkan bagiku untuk mengatakannya, tapi si tua benar. Kamu tahu itu sangat menyakitkan bagiku."

Tatapan mata yang sipit semakin menyipit, tertuju pada Malin. "Aku dibutuhkan di fasilitas dermaga. Kamu tidak dapat membuat tuak, arak, atau legan tanpa air," bujukan yang berhubungan dengan kepentingan bisnis Malin. Bibir bawahnya bergetar, memanipulasinya seperti penipu ahli.

Terlalu banyak adat Ma'angin yang menular ke gadis itu, jalan yang menurut Malin telah dia tinggalkan. Dia harus memberitahu Rina'y untuk berhenti bergaul dengannya begitu semua perselisihan ini berakhir.

"Dikker ada di sana. Dia akan melakukannya. Jangan tinggalkan aku di sini dengan---"

Bum!Bum! Bum!

Suara ledakan meriam aba-aba dimulainya pertempuran. Langkaseh berguncang.

Jantung Malin berdetak kencang.

Dentuman lain bergetar di atas pulau debu.

Bum!Bum! 

Muka Pucat membalas tembakan meriam Hungyatmai.

Bulu tangan hingga rambut Malin berdiri. Sia-sia saja dia mengelusnya, rambutnya menolak untuk berbaring.

Sungguh mimpi buruk yang gila. Dia berada pada tahap selanjutnya dari perang yang baru dimulai. Tulah dan genosida baru akan melanda Dunia Timur, dan Langkaseh akan dikutuk sebagai lubang neraka tempat gencatan senjata berakhir.

Kerambil.

"Rina'y! Malin!" Musashito berteriak mengatasi dentuman ledakan meriam. "Kita harus pergi. Bersiaplah."

Rainly melanjutkan ke arah dermaga, Malin berlari mengejarnya sambil memegang bahunya. "Kapal perbekalan tidak akan datang hari ini. Kamu lebih aman bersamaku. Aku ingin kamu bersamaku. Tolong jangan pergi."

Mengi karena pengerahan tenaga, Malin harus berhenti, meremas jari-jarinya untuk memegangnya dengan lebih baik. Namun Rina'y terlepas dari cengkeramannya yang melemah dan terus berjalan.

"Kalau... kamu mati, aku ... tidak akan punya... sahabat... terbaik. Tidak ... tidak pernah ... lagi."

BERSAMBUNG

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun