Mohon tunggu...
Ikhwanul Halim
Ikhwanul Halim Mohon Tunggu... Editor - Penyair Majenun

Father. Husband. Totally awesome geek. Urban nomad. Sinner. Skepticist. Believer. Great pretender. Truth seeker. Publisher. Author. Writer. Editor. Psychopoet. Space dreamer. https://ikhwanulhalim.com WA: +62 821 6779 2955

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Di Luar

3 Januari 2023   06:30 Diperbarui: 3 Januari 2023   06:32 530
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Di luar, hujan melambat menjadi kabut tipis. Aku menggeliat melepaskan kekakuan dari anggota tubuhku dan meninggalkan meja untuk mendapatkan pemandangan yang lebih baik.

Kabut tampak naik dan turun, melayang dan kabur, bergeser dalam hembusan dan desahan. Tetesan air mengalir di daun jarum cemara berjari halus. Cabang-cabang pohon meranti terkulai di bawah beban jenuh. Kabut menempel di batang pohon, mengisi ruang di antaranya, melindungi rumah tetangga.

Batang pohon berwarna coklat tua. Tidak lagi kering, hampir abu-abu pucat sebelum hujan. Rerumputannya semarak, hijau limau. Dedaunan pohon serta pakis berwarna hijau tua pekat yang berteriak, "Aku hidup!"

Napasku berkabut di jendela, dan aku menekan tanganku ke kaca. Kusen dingin di telapak tanganku, lembap menelusuri jari-jariku.

Hutan hijau berkabut memanggilku.

Aku mencoba menghilangkan perasaan itu, kembali bekerja, tetapi aku merasa stagnan, dan pekerjaan ini membosankan.

Aku tak bisa fokus pada rencana proyek untuk orang asing yang jauhnya ribuan kilometer.

Membuka pintu geser di ruang tamu dan melangkah ke teras, kulihat seekor burung gagak bertengger di kabel listrik. Kroak.

Apakah sepertiku dia merasakan bosan juga? Apakah dia menegaskan daya juangnya, atau apakah kesal karena basah?

Atau apakah dia memberi tahu teman-temannya tentang cacing yang muncul di rerumputan di bawah?

Aku bisa saja berdiri di sini sepanjang hari dan minum di tengah tanaman hijau yang semarak. Tapi, seperti cacing-cacing itu, aku hanya muncul ke permukaan untuk sesaat.

Udaranya sejuk dan segar. Aku mengambil sedikit hujan di dalam diriku. Sudah waktunya untuk kembali ke bawah tanah, kembali ke bumi yang gelap, tempat aku menjaga diriku tetap aman.

Buta, tapi sangat aman.

Aku tidak bermaksud melakukannya, tetapi sebelum menyadarinya, aku bertelanjang kaki di rerumputan.

Keliman celana piyamaku menyerap air hujan.

Bergegas ke pohon cemara dan menyelinap di antara ranting-rantingnya yang licin dan basah, hamparan jarum di bawah kakiku lembut dan ramah.

Aku menatap ke arah rumah, dan melihatnya dari sudut pandang pepohonan.

Batu bata bercat putih bergaris basah oleh hujan. Noda serbuk sari dan polusi tidak hilang. Kaca jendela biru muda tumpul memantulkan hutan, dan ada sesuatu yang berkurang dalam pantulan yang mengilap dan tak bernyawa.

Jendela berpura-pura menjadi hutan, berpura-pura hidup, dan rumah menunggu kehidupan mengisinya kembali. Sepertiku.

Hujan menetes dari daun cemara, mengalir di belakang leherku membagi rasa dingin. Gemetar, aku berpaling dari rumahku dan bergerak lebih jauh ke dalam hutan.

Pusing dengan keberanianku sendiri, aku berlari menyusuri jalan setapak yang sudah usang sampai aku berada di luar jangkauan jarak pandang dari jendelaku. Energi liar terbangun dalam diriku, meledak, liar, bersemangat.

Namun membebaskan.

Aku tidak berpikir, hanya lari. Melompati akar-akar yang berbonggol-bonggol dan menenun di antara batang-batang yang lebar dan retak. Tanah yang lembut melindungi kakiku, seolah-olah jalan setapak pun ingin menjagaku.

Dedaunan dan lumpur licin terasa di bawah kakiku, tapi aku tak takut. Momentum mendorongku ke depan. Jantungku berpacu, tapi bukan sebagai protes. Dia juga berteriak, "Aku hidup!" dan bergaung di antara pepohonan.

Aku melambat dan berhenti saat mencapai sungai. Airnya tinggi setelah hujan, dan tepian yang aku tahu terendam. Pohon-pohon di sini lebih muda. Kulit kayunya halus, batangnya lebih tipis dari pergelangan tanganku.

Pohon-pohon muda bersandar ke air, ke celah dedaunan dan janji akan cahaya. Aku mengangkat celanaku yang bernoda berlumpur dan mengambil jalan menuruni lereng menuju air. Arus dingin mengejutkanku. Aku menarik napas tajam, dan mataku terbuka semakin lebar.

Kakiku menjadi terbiasa dengan dingin saat aku berjalan ke hilir. Bebatuan halus dan bulat di atas kerikil halus. Arus di belakang pergelangan kaki memercik ke betis. Aku melepaskan celana dan kelimannya jatuh ke air. Kain yang basah kuyup menempel di kakiku, dan rasanya konyol bahwa aku memakainya sejak semalam. Air membasuh lumpur yang paling parah, hanya menyisakan noda tanah merah.

Aku memejamkan mata dan memalingkan wajahku ke langit. Kabut menempel di kulitku, awalnya tak terasa, dan kemudian tetesan air mulai berjatuhan.

Tik. Tik.

Hujan menerpa dedaunan dan juga aku, lalu semakin banyak dengan manik-manik yang berat.

Aku tetap berdiri di tengah arus, membiarkan hatiku bebas, membiarkan arus membasuh semua yang menahanku.

Aku terbuka untuk sesuatu yang baru dan tidak dikenal. Sudah waktunya untuk melepaskan masa lalu, rasa sakit, trauma. Sudah waktunya untuk mengambil tanggung jawab yang aku mampu dan bergerak maju, meskipun jalannya berkabut. Bahkan jika airnya lebih dalam dari yang disangka, bahkan jika itu adalah langkah berbatu menuju masa depan yang tidak pasti.

Aku merasakan keinginan untuk kembali ke rumah sebelum ada yang melihat, tetapi kuputuskan untuk tinggal di sini sedikit lebih lama, di mana aku tidak terikat apa pun dan sepenuhnya menjadi diriku sendiri.

Bandung, 3 Januari 2023

Sumber ilustrasi

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun