Aku bisa saja berdiri di sini sepanjang hari dan minum di tengah tanaman hijau yang semarak. Tapi, seperti cacing-cacing itu, aku hanya muncul ke permukaan untuk sesaat.
Udaranya sejuk dan segar. Aku mengambil sedikit hujan di dalam diriku. Sudah waktunya untuk kembali ke bawah tanah, kembali ke bumi yang gelap, tempat aku menjaga diriku tetap aman.
Buta, tapi sangat aman.
Aku tidak bermaksud melakukannya, tetapi sebelum menyadarinya, aku bertelanjang kaki di rerumputan.
Keliman celana piyamaku menyerap air hujan.
Bergegas ke pohon cemara dan menyelinap di antara ranting-rantingnya yang licin dan basah, hamparan jarum di bawah kakiku lembut dan ramah.
Aku menatap ke arah rumah, dan melihatnya dari sudut pandang pepohonan.
Batu bata bercat putih bergaris basah oleh hujan. Noda serbuk sari dan polusi tidak hilang. Kaca jendela biru muda tumpul memantulkan hutan, dan ada sesuatu yang berkurang dalam pantulan yang mengilap dan tak bernyawa.
Jendela berpura-pura menjadi hutan, berpura-pura hidup, dan rumah menunggu kehidupan mengisinya kembali. Sepertiku.
Hujan menetes dari daun cemara, mengalir di belakang leherku membagi rasa dingin. Gemetar, aku berpaling dari rumahku dan bergerak lebih jauh ke dalam hutan.
Pusing dengan keberanianku sendiri, aku berlari menyusuri jalan setapak yang sudah usang sampai aku berada di luar jangkauan jarak pandang dari jendelaku. Energi liar terbangun dalam diriku, meledak, liar, bersemangat.