Mohon tunggu...
Ikhwanul Halim
Ikhwanul Halim Mohon Tunggu... Editor - Penyair Majenun

Father. Husband. Totally awesome geek. Urban nomad. Sinner. Skepticist. Believer. Great pretender. Truth seeker. Publisher. Author. Writer. Editor. Psychopoet. Space dreamer. https://ikhwanulhalim.com WA: +62 821 6779 2955

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Babak Selanjutnya

29 Desember 2022   17:17 Diperbarui: 29 Desember 2022   17:34 114
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Gumpalan gelembung awan gemuk bersarang di langit biru. Angin sepoi-sepoi bertiup mengangkat kupu-kupu raja dan bulu dari kembang tempuyung ke segala penjuru.

Miranda Lamia duduk di bawah naungan pohon apel kepiting hias berbintik-bintik dengan buah matang berwarna merah tua. Di sekelilingnya adalah sesama jemaat anggota gereja. Suara lembut pendeta berpadu dengan nyanyian burung yang merdu.

Tiba-tiba kursi yang diduduki Miranda Lamia terguling. Pendeta kaget dan diam membeku di tengah khotbahnya.

Beberapa hari kemudian, Miranda Lamia dimakamkan di pemakaman di seberang jalan, di antara batu nisan miring berlumut yang telah dilihatnya selama berkali-kali di hari Minggu.

Babak selanjutnya dalam hidupnya dimulai.

Bandung, 29 Desember 2022

Sumber ilustrasi

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun