Dari dermaga, aku melihat dua pria saat mereka mengecat ulang dinding ujung blok apartemen baru dengan warna oranye cerah norak.
"Untuk mengusir angsa," jelas sebuah suara di belakangku. "Blok apartemen dibangun di jalur terbang mereka yang sudah mapan. Di hari yang suram, atau di tengah cahaya senja yang remang-remang, angsa mengira tembok abu-abu itu adalah langit, dan mereka terbang menabraknya."
Tanpa harus berbalik aku sudah tahu kalau itu kamu.
Aku memutar ulang kenangan malam musim dingin itu ratusan kali. Seekor angsa menclok di jembatan, tertegun setelah menabrak lampu jalan. Saat hewan itu terbang menyusuri sungai, ia terhuyung-huyung kebingungan, terkurung oleh pagar dan lalu lintas yang tiada henti. Unggas malang itu tak mendapatkan landasan pacu.
Kamu berjalan ke arahku dan mata kita bertemu. Tanpa mengucapkan sepatah kata, kamu melepas mantel dan melemparkannya ke atas burung itu. Kita mengangkatnya dengan cepat ke atas pagar, menahannya sebentar, lalu berdiri kembali. Saat lepas landas, sayap dan perutnya diterangi oleh lampu jalan, berkilauan di langit yang semakin gelap.
Kami tersenyum, tiba-tiba sedikit canggung, dan menggumamkan beberapa patah kata sebelum melanjutkan perjalanan.
Jalur terbang kita saling silang sejenak, ujung sayap kita hampir bersentuhan, tapi kita tidak bertabrakan. Dan sejak itu aku sering memikirkanmu, manusia burungku. Aku menyimpan nada suaramu di kepalaku.
Dan saat aku menoleh, aku bisa melihat kamu memikirkanku juga. Kali ini kita akan bertabrakan, bahkan jika tabrakan akan membuat kita terbakar.
Bandung, 29 Desember 2022
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H