Saat memasuki ruang kerja Tuan Joko Seng, seperti biasa aku berpikir bahwa tempat ini sungguh tak layak menjadi pusat berbagai misi rahasia yang sering berujung pada kematian yang mengerikan.
Tinggi dan luas dengan lantai marmer impor dan rak buku yang dipasang di dinding. Beberapa sofa santai berlapis kulit ditempatkan secara strategis di sekeliling meja modern dengan telepon antik bergagang emas.
Di belakang meja, duduk seorang pria berusia awal lima puluhan. Penampilan rapi, mengenakan setelan abu-abu gelap yang pas dan tidak mencolok. Sepintas mirip pengusaha sukses. Baru setelah dia berbicara, orang-orang akan menyadari bahwa Joko Seng memiliki kualitas tertentu yang akan terbuang sia-sia di dunia bisnis dan perdagangan.
Dia bangkit ketika aku masuk melewati pintu, mengangguk dan tersenyum ramah penuh welas asih, dan memberi isyarat agar aku duduk. Aku memilih duduk di kursi yang paling dekat dengan pintu.
Joko Seng mengaggukkan kepalanya ke arah seorang pria yang sedang bersantai di salah satu kursi kulit di dekat jendela.
"Aku ingin kamu berkenalan dengan Prima Dasa, Han. Dia akan menjadi rekanmu dalam kasus ini".
Joko melemparkan pandangan geli pada pria itu. "Dia tidak sepenuhnya percaya kalau kita punya kasus sama sekali. Atau apakah sinisme hanya untuk menutupi bahwa tak malas menangani kasus, Prim?'
Prima tersenyum sinis. "Malas, Bos? Seperti yang dikatakan Konfusius 'Jalan dibangun untuk pejalan kaki bukan sebagai tujuan.' Bagaimana wanita bisa berjalan jauh dengan dengan hak stiletto akan selalu menjadi misteri bagiku."
Dia berdiri dan menggenggam tanganku dengan erat. "Apakah kau tahu berapa banyak museum yang ada di Shanghai, Han?"
Aku tersenyum tanpa menjawab pertanyaan semacam itu, dan dia kembali duduk di kursinya.
"Kau bakal tahu", dia meyakinkanku.
Aku menatapnya. Dia memiliki wajah yang cerdas, dengan hidung yang mancung bengkok dan panjang. Mata cokelatnya memiliki toleransi yang baik karena telah melihat segalanya dan tidak percaya setengahnya. Aku memiliki perasaan bahwa aku cocok dengan rekan baruku ini.
Joko Seng menginterupsi dengan suara serak, "Ini foto wanita yang akan kamu amati, Han." Dia mengambil selembar potret dari printer mininya dan menyerahkannya kepadaku.
Foto seorang wanita berusia awal tiga puluhan. Rambut sebahu dengan mata bundar gelap, hidung yang proporsional, dan bibir yang penuh murah senyum. Aku bisa saja mendapatkan misi yang lebih kurang menyenangkan daripada membuntuti kaki yang ramping seperti yang ada di bawah rok ketat selutut.
"Namanya Ranya Vachel," kata Joko Seng. "Pemilik galeri seni di Daerah Kemang. Dia bertunangan dengan seorang pialang saham, seorang pria bernama Yudhi Salim."
Aku melirik dari foto itu untuk menangkap tatapan satir Prima Dasa. "Yudhi Salim pria yang beruntung, eh, Han?'
Na memotong tiba-tiba. "Dia terbang ke Shanghai lusa. Aku sudah mengatur agar kalian berangkat dengan pesawat yang sama". Dia melihat ke arahku. "Kamu bawa paspormu?"
Aku menunjukkan paspor. Joko membacanya sekilas dan memasukkannya ke dalam laci.
"Akan dikembalikan kepadamu sebelum berangkat."
Sudah saatnya aku mengajukan pertanyaan utama. "Bos, boleh aku tahu mengapa dia harus diawasi, Bos?"
Joko mengambil sebatang rokok dari kotak perak dan mendorong kotak itu ke depanku. "Satu setengah bukan yan lalu, seorang agen dari departemen ini bernama Banyu Putih terbunuh. Dia ditabrak oleh mobil yang disetir oleh Ranya Vachel."
Aku mengambil sebatang rokok dari kotak di depanku. "Bos menduga itu bukan kecelakaan?"
Aku menerima pemantik dari Joko dan menyalakan rokok, membuat asap bulat yang naik membesar dan lenyap tersedot unit pemurni udara.
"Pertanyaan bagus, Han," ucap Prima.
Joko menerima pemantik dari tanganku, setengah tersenyum berkata. "Banyu merupakan salah satu orang terbaik kita. Pasti ada beberapa orang yang ingin dia tersingkir."
BERSAMBUNG
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H