"Carikan stoples pala utuh di rak atas," Nenek menyuruhku. Dia agak pendek.
Dia meraihnya dari tanganku dengan satu tangannya yang keriput. Tangan yang lain mencari di banyak sakunya sampai mendapatkan kembali kacamata bacanya.
Nenek menghabiskan beberapa menit berikutnya dengan tangan gemetar dan mengamati stoples, memindahkan kacamatanya ke ujung hidungnya, mendorongnya kembali ke atas dan akhirnya dikembalikan ke saku.
Berbelanja dengan Nenek tidak pernah bisa lekas. Aku sudah terbiasa dengan itu. Aku yang selalu mengangtarnya setiap hari Rabu agar Nenek bisa berbelanja untuk persediaan selama seminggu.
"Sepuluh," katanya. "Sepuluh pala utuh. Cuma itu yang saya butuhkan. Saya tidak perlu membeli pala lagi seumur hidup."
Aku benci saat dia berbicara seperti ini. "Nenek akan tetap kuat dalam dua puluh tahun lagi, Nek," aku meyakinkannya.
"Nak," katanya. Dia selalu memanggilku 'anak'. Aku tidak yakin apakah dia ingat namaku. "Kalau saya masih hidup sepuluh tahun lagi, kamu dapat izin untuk mengubur saya hidup-hidup."
"Nenek tidak akan bicara sepert itu sepuluh tahun lagi, percayalah padaku."
Nenek mendengus dan berkeliling untuk mencari sisa barang yang harus dibelinya.
Bandung, 28 Desember 2022
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H