Sulit untuk tidak menguping pembicaraan orang lain, terutama ketika kamu terjebak di ruang gawat darurat tanpa bisa melakukan apa-apa.
Selama beberapa jam itu, semua yang terjadi adalah hal-hal yang sangat biasa, Sakit dan nyeri. Tidak ada yang mengalihkan pikiranku dari pergelangan tangan yang mungkin patah. Hanya ada kerumunan orang tua, selain gadis yang duduk tepat di belakangku. Kepalanya dibungkus perban.
Dia sibuk dengan dirinya sendiri, memainkan ponselnya, sampai seorang pria yang ternyata ayahnya masuk.
"Ya ampun, Diana! Apa yang terjadi?"
Gadis itu menjelaskan bahwa dia tersandung saat berlari mengejar kereta. Lukanya membutuhkan empat puluh jahitan.
"Kamu pakai sepatu hak tinggi, kan?" ayahnya menuntut jawab. "Kamu, ya. Kamu tahu ... kamu dulu ... Sudah Ayah bilang sepatu begitu membahayakan. Bisa membunuhmu. Ayah akan membuangnya begitu sampai di rumah."
"Jangan, Yah," dia memohon. "Aku bheli dengan uangku sendiri. Rata-rata harganya dua minggu gaji."
"Ayah akan memotong sepatu-sepatumu sampai berkeping-keping!" katanya. "Ayah akan membakarnya di kebun belakang!"
"Jangan, Ayaaah!" ratapnya. "Cuma kecelakaan biasa, kok."
"Kamu tidak akan pernah melihat sepatu-sepatumu itu lagi, Diana!" kata ayahnya, berbalik menuju pintu. "Ayah akan pulang untuk menyingkirkan semuanya."
Gadis itu tiba-tiba menyadari bahwa dia menjadi pusat perhatian orang-orang yang ada di IGD. Dia duduk di kursi dan bersembunyi di balik ponselnya.
Bintaro, 26 Desember 2022
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H