Mohon tunggu...
Ikhwanul Halim
Ikhwanul Halim Mohon Tunggu... Editor - Penyair Majenun

Father. Husband. Totally awesome geek. Urban nomad. Sinner. Skepticist. Believer. Great pretender. Truth seeker. Publisher. Author. Writer. Editor. Psychopoet. Space dreamer. https://ikhwanulhalim.com WA: +62 821 6779 2955

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Lumpur

24 Desember 2022   18:41 Diperbarui: 24 Desember 2022   18:42 290
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bocah itu cekikikan dan memainkan lumpur di antara kedua tangannya. Basuki Kecil. 

Dia terpesona oleh lumpur. Dia sedang duduk di genangan lumpur kotor basah yang menodai kakinya sampai ke pinggang. Dia meraup lebih banyak lumpur, mengangkat tangannya ke matahari, tersenyum seperti seorang pangeran dongeng dan mengaduk lumpur sampai jari-jarinya kental dengan cairan lengket.

Namaku Basuki Jeral. Aku seorang seniman terkenal. Karyaku ada di museum di seluruh dunia. Aku telah berkreasi sejak seusia Basuki Kecil.

Pada usia lima tahun, aku menjuarai kontes mewarnai.

Pada usia tujuh tahun, aku menggambar tokoh Disney tanpa menjiplak dan menjualnya untuk beberapa ribu rupiah kepada siswa lain.

Bulan Desember dan Februari adalah waktu yang sibuk bagiku karena aku mendapat bayaran dari murid karena membantu tugas liburan.

Sejak awal aku sudah belajar untuk menjadi seorang seniman artinya adalah bekerja mencari uang. Setiap lukisan ada rasa keberhasilan. Menerima pesanan dan uang tidak menyurutkan kesenanganku.

Aku memenangkan kontes seni tingkat nasional di sekolah menengah.

Setelah tamat, aku menertawakan semua siswa yang mengambil kuliah reguler atau pekerjaan kerah biru. Aku pindah ke ibukota untuk masuk institut seni.

Aku bertemu banyak orang berpengaruh dan mulai menghasilkan karya yang paling inovatif. Menyewa ruang studio dengan seorang teman. Kami membagi dua sewa. Aku berkembang, dari melukis ke patung. Ketika lulus, karyaku sudah berada di galeri.

Tinggal di ibu kota, aku menikahi istri pertamaku dan membeli villa di Puncak. Aku mendapat komisi dari seluruh dunia. Aku terus bekerja.

Di usia tiga puluhan, aku mendapatkan istri baru. Namaku sudah sangat terkenal. Aku terus bekerja, tetapi sudah tyak ada lagi kebahagiaan. Pekerjaanku terasa membosankan. Komisi menyusut.

Di usia empat puluhan, aku bercerai dan menikah lagi. Aku menjual apartemenku di ibu kota. Kami tinggal di pinggiran  dan aku diam di rumah hampir setiap hari. Basuki Kecil lahir. Empat tahun kuhabiskan menatap kanvas kosong, balok kayu, dan plester semen.

Aku menjadi depresi dan ingin bunuh diri. Masuk rumah sakit jiwa selama sebulan. Dan sekarang aku duduk di studio menatap Basuki Kecil melalui jendela. Kemarahanku tumbuh dan berkembang. Aku tersedak amarah saat aku melihatnya. Untuk pertama kalinya, aku keluar dan berteriak pada Basuki Kecil. Aku berteriak sampai dia menangis dan ibunya membawanya pergi.

Aku menyodok lumpur dan mengarahkan jariku ke langit. Aku tidak merasakan kegembiraan.

Aku bukan lagi seorang seniman. Aku akan pergi ke kota dan membeli tali tambang.

Bintaro, 24 Desember 2022

Sumber ilustrasi

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun