Pada pagi musim panas yang hangat dan kering, kalajengking berjalan dengan enam kakinya melintasi padang pasir, seakan dialah yang berkuasa di kerajaan yang terpanggang matahari. Mencengkeram dan melepaskan kedua cakar penjepitnya pada apa pun yang mungkin memperhatikannya, dia membiarkan ekor berduri beracunnya berayun bebas, hanya sebagai ancaman biasa jika ada yang perlu diingatkan tentang sengatannya yang mematikan.
Seekor kumbang melihatnya datang dan bergegas menyingkir, menemukan lubang yang aman di tanaman kaktus. Kalajengking terkekeh pada dirinya sendiri, berpikir dengan angkuh, oh ya, lebih baik kamu lari dan bersembunyi dari kematian.
Seekor ular derik di sebelah kiri memperhatikan kalajengking yang kurang ajar, tetapi tetap diam, berharap serangga itu akan bergerak tanpa membuat masalah.
Hewan-hewan lain, bahkan seekor anak anjing gurun, memberikan jarak yang lebar bagi pengganggu yang berbisa itu.
Dada kalajengking itu hampir meledak dengan kesombongan. Setiap hewan yang berjalan, merangkak, atau melompat takut padanya, bahkan juga manusia, makhluk bodoh yang berjalan tanpa alas kaki dengan celana pendek, seperti anak kecil yang dia ingat disengatnya beberapa minggu yang lalu. Peristiwa yang membuat dirinya menjadi percaya diri dan menciptakan perasaan memiliki kekuatan yang besar.
Kalajengking melihat manusia lain datang ke arahnya.
Ha! Dia juga akan menderita, mungkin mati karena sengatan beracunku. Tapi tunggu, manusia ini memakai sepatu bot bersol tebal, sepatu bot selutut, dan salah satunya telah terangkat dan turun dengan cepat dan---
Bintaro, 24 Desember 2022
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H