"Kita dikepung!" Mimpi buruk terburuk Tiwi menjadi kenyataan. Teror memakan setiap sel tubuhnya. Hanya bersenjatakan tongkat dan dua kepalan tangan, dia beringsut merapat ke Zaki. Satu tangannya berpegangan pada lengan sahabatnya sambil memukul laba-laba dengan yang lain.
Dia mencoba menusuk punggung serangga itu dengan tongkat, tetapi hewan itu bergeming. "Serius, ada apa dengan laba-paba mutan ini? Serangga lain akan kabur cari selamat. Ini di luar logika!"
Sesuatu yang berkilau di sebelah kiri menarik perhatiannya. Jaring besar, tebal, berbentuk spiral nergantung di antara dua pohon, seperti tempat tidur gantung atau semacam jembatan tali.
"Jaring!" Tiwi berteriak. "Kita bisa naik."
Tanpa menunggu jawaban, dia menarik tali sutra dan mulai memanjat jaring benang yang saling bersilangan. Sedikit memantul, mengingatkannya pada jaring kargo di pasar malam, tetapi tampaknya cukup kuat untuk menahan berat badannya.
Suara Zaki bergaung di udara. "Lu gila? Gue ogah naik ke sana."
"terserah. Nggak ada tempat lain lagi." Miko mengangkat bahu dan melompat, memanjat sampai ketinggian tujuh meter.
Tiwi menggelengkan kepala. "Zak, lupakan acrophobia-mu. Mulailah memanjat, atau kamu akan menjadi santapan laba-laba!"
Laba-laba mengeluarkan nada tinggi lagi dan Zaki melompat mundur.
"Hei, Zak, lu yakin nggak pengen gabung sama kita?" teriak Miko.
"Setelah dipikir-pikir ... oke, deh." Dengan lompatan besar, dia berlari ke arah kedua temannya.
Miko tiba-tiba terpeleset, dan jaring mulai terkoyak, sebagian lepas runtuh. "Tunggu.! Tiga gajah nggak bisa menumpuk di jaring laba-laba."
Tiwi merasa tenggelam, dia terpeleset saat benang-benang terentang sentimeter demi sentimeter, menjatuhkannya ke jutaan penyerang bermata kancing hitam, seperti film horor jelek. Membeku, mata terbelalak, denyut nadinya melonjak setiap detik.
Apa yang merasukinya untuk memanjat jaring laba-laba langsung masuk perangkap seperti burung-burung kecil tadi?Â
Mungkin bisa mencoba mencapai pohon itu. Tapi bukankah laba-laba akan mengikuti mereka ke sana? Lagi pula, di situlah dia pertama kali melihat serangga raksasa itu.
Zaki sedang memanjat beberapa meter darinya ketika benang putus, membuatnya jatuh ke tanah, mendarat di punggungnya sambil erangan. Jantung Tiwi melompat ke tenggorokan saat laba-laba menerkamnya. Dia mengabaikan ketakutan yang melanda dan memaksa diriku untuk kembali turun.
"Tiwi, tunggu!" teriak Miko, meraih lengannya. "Lihat, laba-laba menjauh dari Zak, seperti dia bawa penyakit atau wabah. Lihat!"
Tiwi mencondongkan tubuh ke depan untuk menatap wajah Zaki.
Zaki menghela napas panjang. Laba-laba mundur dan menciptakan zona penyangga di sekelilingnya.
"Miko bener," kata Zaki. "Balik ke sarang kalian!"
Tiwi menggigit bibir saat melihat Zaki beraksi. Ke mana pun dia melangkah, laba-laba segera berlari mundur, seolah dia adalah Musa yang membelah laut hitam yang hidup. Seakan-akan dia membawa kaleng semprotan anti serangga yang tak terlihat.
"Pertunjukan yang bagus, bro. Sekarang naiklah! Sudah waktunya untuk melompat-lompat di pohon," kata Miko.
"Ogah, lihat! Ada yang memukul mundur binatang ini. Gue yakin itu lendir rayap yang gue gosok tadi. "
Zaki melepaskan kemejanya dan menyuruh Tiwi dan Miko turun.
"Kamu mau ngapain? Striptis?" tanya Tiwi menahan agar suaranya tidak terdengar gemetar ketakutan.
"Baju ini buat Miko. Lu mau nggak gue gendong kuda-kudaan? " Setengah nyengir, senyum Zaki entah bagaimana tampak dipaksakan, seolah-olah stiker tempelan untuk menenangkan Tiwi.
Tiwi mengangguk, menangkap kekhawatiran di mata Zaki. "Asal kamu kuat aja."
Dia teringat kembali pada obat nyamuk usus rayap Zaki yang tadi dia tertawakan.
Mengapa dia tidak menyabuni badannya dengan itu saja? Dia memarahi dirinya sendiri. Mengingat pilihan yang diambilnya, sekelompok rayap mati jauh lebih baik daripada gerombolan laba-laba mutan hidup yang tumbuh terlalu besar.
BERSAMBUNG
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H