Pertama kali aku berubah menjadi angsa sepenuhnya karena kebetulan.
Usia pernikahan kami sudah seminggu. Aku berdiri di jendela yang terbuka dengan gaun tidurku, menatap ke seberang atap saat dengkuranmu memenuhi udara ruangan.
Aku hanya mencondongkan tubuh untuk mencium bau rerumputan dan tanah lembap, tetapi tiba-tiba aku terjatuh. Bukan---terbang....
Aku merentangkan tanganku, dan sayap seputih kapas terbentang dari sisi tubuhku. Kakiku rata seperti spatula, dan aku melihat ke bawah ke beranda melalui mata sebesar biji merica.
Malam pertama itu, terbangku belum jauh. Putaran cepat ke ujung jalan, menukik rendah di atas makanan yang dibawa pulang dan orang-orang yang tersesat yang terhuyung-huyung tersandung dari klab malam.
Aku menguji sayapku. Aku jatuh mengelundung tanpa ampun melalui jendela kamar tidur, meninggalkan bulu-bulu yang berantakan di permadani. Kamu mendengus dalam tidur dan menggumamkan nama perempuan lain.
Aku tahu.
Keesokan paginya, saat kamu bersenandung dan mengancingkan baju, kata-kata itu ada di sana, terbungkus di tenggorokanku seperti lagu. Tapi aku tidak pernah bisa mendengarkan, lagi pula, kamu tidak pernah bertanya. Aku membuatkanmu roti bakar abon ayam untuk makan siang. Aku selalu menyukai unggas---aku tidak mengerti mengapa hal itu harus berubah.
Bulan-bulan berlalu.
Aku membiarkan sayap-sayapku membawaku terbang melintasi kota, mengintip kehidupan orang lain. Aku menjadi pandai melihat detail: kerah tidak pada tempatnya, sehelai rambut panjang di bagian dalam singlet, nota restoran mahal, Â