Mohon tunggu...
Ikhwanul Halim
Ikhwanul Halim Mohon Tunggu... Editor - Penyair Majenun

Father. Husband. Totally awesome geek. Urban nomad. Sinner. Skepticist. Believer. Great pretender. Truth seeker. Publisher. Author. Writer. Editor. Psychopoet. Space dreamer. https://ikhwanulhalim.com WA: +62 821 6779 2955

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Kasus Sang Harimau (Bab 66)

7 Desember 2022   20:57 Diperbarui: 7 Desember 2022   21:37 221
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
dok. pri. Ikhwanul Halim

Aku tidur larut sampai keesokan paginya dan membiarkan Kirana ketika dia bangun pagi untuk menyiapkan sarapan untuk para tamu. Dibangunkan sekitar pukul setengah sembilan ketika dia kembali dengan secangkir teh hangat, dan kami berbagi ciuman dan pelukan.

Aku turun ke bar pada pukul sepuluh tiga puluh dan menyapa Danar Hadi yang mengangkat alisnya melihat kedatanganku yang terlambat. Aku duduk dengan tenang di meja dekat jendela. Kepalaku sakit sekali dan lututku berdenyut-denyut. Aku telah mengobati sebagian luka di tangan, tetapi bekas gigi Kujang bagai melirik ke arahku.

Namun wajahku tak menampakkan rasa sakit. Aku tak ingin Danar yang sering bertindak sebagai pemburu godip yang tak pernah puas mengajukan terlalu banyak pertanyaan.

Tidak biasanya aku minum pukul setengah sebalas pagi, tetapi pagi ini tampaknya hal yang paling alami di dunia. Sambil minum, aku menyusun rencana.

Kujang si Muka Curut sudah mati. Aku yang menghabisinya. Sepertinya tidak ada gunanya memikirkan dia lagi. Jika mayatnya ditemukan, Joko Seng akan membereskannya. Aku tidak merasa menyesal membunuh Kujang. Bagaimanapun juga itu jelas merupakan kasus bela diri. Jika Kujang tidak terjun ke laut, dia pasti akan membunuhku.

Namun, aku masih belum menemukan David, meskipun sekarang cukup jelas bahwa dia ada di suatu tempat di Anyer. Masih ada Bulbul---Feri Said. Betapapun mabuknya dia, aku tak bisa mempercayai cerita Andir Bibir bahwa dia telah menghancurkan kapal pukat hanya untuk bersenang-senang.

Aku menghabiskan minumanku dan pergi keluar. Udara dingin menyegarkan dan kepalaku mulai jernih. Aku akan mendatangi Feri Said. Dari yang kudengar, dia kemungkinan lebih sulit dari Kujang, dan aku tak mengharapkan yang lebih baik lagi.

Aku ingat Joko mengatakan bahwa beberapa anak buahnya akan berada di Anyer, membuatku  sama nyamannya dengan tonjolan gagang pistol otomatis .32 di balik jaket kulitku. Untuk membuktikan janji Joko, seorang nelayan paruh baya yang mengenakan kaus biru kasar dan sepatu bot karet menyeberang jalan dan berdiri beberapa meter dariku, sibuk melinting rokok.

Ketika aku berpapasan dengannya, dia menoleh ke kiri dan kanan kemudian berkata pelan, "Pukat Feri Said ditambatkan di dermaga. Ketika Anda bertemu dengannya, katakan bahwa Anda adalah seorang pedagang seni yang sedang mencari lukisan untuk galeri baru Anda. Anda telah melihat gambar karyanya dan Anda pikir itu cukup bagus. Anda telah diberitahu tentang Feri oleh Wang Chu Min. Anda sebaiknya mengulanginya kembali kepada saya."

Dia tidak perlu khawatir. Aku punya ingatan yang siap menyerap detail seperti itu. Nelayan itu mengangguk dan kemudian meludah dengan tepat di jalan berbatu. Dia berkata, "Semoga beruntung." Kemudian dia tiba-tiba berbalik dan menuju Balai Lelang Ikan.

Kapal pukat adalah kapal yang panjang, ramping, dan tampak kuat, jelas mampu melaju dengan kecepatan tinggi. Aku berdiri di tepi dermaga, memandanginya sejenak. Saat ini seorang pria datang ke geladak dan mengosongkan ember di sampingnya.

Jelas dia adalah Feri Said. Dia menyalakan pipa cangklong dan berdiri bersandar di pagar. Aku bertanya-tanya apakah aku harus membuktikan diri sebagai pedagang barang seni yang meyakinkan seperti saat menyamar sebagai detektif.

Organisasi Joko cukup bagus. Tentu saja pendekatan yang masuk akal untuk Bulbul Effendi adalah melalui foto lukisannya atau sebotol wiski. Aku merasa sedang tak ingin menawarkannya minum.

Berjalan santai menaiki tangga dan melangkah ke geladak, aku dapat melihat bahwa Bulbul kemiripan dengan Feri Said sama sekali tidak dilebih-lebihkan. Tinggi seratus enam puluh dan proporsional. Rambut hitamnya yang gondrong disanggul di atas kepala, dan sebagian besar wajahnya tertutup oleh janggut yang kusut dan tidak terawat.

Ketika dia mendengar aku mendekat, dia berbalik dengan tiba-tiba dan memandang dengan tatapan permusuhan yang tidak disembunyikan.

Berdiri di puncak gang dengan tangan terlipat, dia menghalangi jalanku

"Apa yang kau cari?" gerutunya. "Perahu ini milik pribadi." Bibirnya tertarik ke belakang, Tatapannya liar, dan napasnya yang beraroma wiski membuatku ingfin muntah.

"Apakah Anda Tuan Bulbul Effendi?" aku bertanya dengan sopan.

"Ya, itu aku. Apa yang kau inginkan?"

Nama saya Joe Taslim," aku menyerahkan kartu nama kepadanya. "Saya seorang pedagang barang seni."

BERSAMBUNG

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun