Zaki berdiri sambil menggelengkan kepalanya. "Apakah kita udah nyeberang ke Twilight Zone atau malah planet yang jauh menembus black hole? Ekstrem banget, deh." Dia mengerutkan alisnya pada Miko dan memeras depan kemejanya dengan kedua tangan, mengirimkan tetesan air jatuh ke pasir.
"Jadi, Wi, menurut lu teori gue benar-benar ngaco?" tanya Miko.
"Maksudmu, seperti pusaran air yang menjadi semacam portal dimensi ruang waktu?" Tiwi tak bisa menahan tawa. "Sorry, Mik, aku nggak percaya yang begituan dari umur lima tahun."
"Gue emang nggak tahu pasti di mana kita berada, tapi gue tahu satu hal," kata Zaki.
"Apa?" tanya Tiwi.
"Kita harus tetap di sini menunggu bantuan."
Melompat berdiri, Tiwi berputar perlahan mengamati. Kerutan di keningnya semakin banyak. Tidak ada orang, tidak ada helikopter, tidak ada tanda-tanda siapa pun yang datang bergegas menyelamatkan nereka. Jangankan rumah, perahu, atau mobil, bahkan tidak ada bekas kelapa yang dikupas dengan parang atau penjual makanan di kios bambu di tepi pantai.
Hutan juga tidak menunjukkan tanda-tanda peradaban. Di mana pun mereka berada, kalau dibuat brosur akan lebih cenderung mengatakan "Surga yang Belum Ditemukan" daripada "Resor Pantai pilihan Wisatawan".
"Di mana orang-orang? Nggak ada sampah, bahkan kaleng minuman, atau tutup botol pun tidak."
Embusan angin kencang meniup rambut Miko yang belum berantakan. "Ya, tempat ini sepi seperti pulau hantu."