Larik mengacu pada jeda baris dan stanza (bait) yang membentuk sebuah puisi.
Panjang baris dan bait ini sangat memengaruhi cara pembaca menafsirkan puisi, sehingga penulisan larik puisi membutuhkan kehati-hatian.
Ada beberapa jenis bentuk dan struktur puisi memungkinkan penyair untuk memilih panjang baris dan baitnya sendiri. Namun ada juga genre puisi tertentu seperti ghazal atau sestina, memiliki persyaratan pola tuang yang lebih ketat.
Bentuk puisi lain dengan persyaratan ketat adalah villanelle. seperti “Do not go gentle into that good night” karya Dylan Thomas.
Apa yang dimaksud dengan larik dalam puisi?
Bait dengan panjang berbeda punya sebutan yang berbeda. Daftar di bawah ini mencakup nama-nama umum untuk bait dengan panjang yang berbeda-beda.
Jumlah Baris Stanza, Istilah, Penggunaan yang disarankan
1. Monostich (jarang): larik yang berdiri sendiri
2. Couplet (kuplet): membangun konflik melalui penjajaran (berdampingan) dan kontras.
3. Tercet (terset): bercerita, menanamkan makna, penjajaran.
4. Quatrain (kwatrin): sangat populer digunakan dalam berbagai bentuk jenis puisi.
5. Quintain: Menyandingkan imaji berbeda, seperti pada Cinquain dan Tanka.
6. Sestet: Menjelajahi masalah yang kompleks, seperti dalam kebanyakan Sonnet Italia
7. Septet (jarang): sajak bebas atau puisi isometrik, seperti pada Rhyme Royal.
8. Octet, Octave: Penjelajahan masalah yang kompleks, seperti dalam kebanyakan Sonnet (soneta)
9. Nonet (jarang): Puisi isometrik, syair bebas (tunggu tanggal mainnya).
10. Dizain (jarang): Puisi bebas, puisi isometrik, seperti bentuk Tennet dan Decemnet
Bentuk puisi yang lebih dari sepuluh larik juga ada, tetapi biasanya merupakan gabungan dari stanza yang sudah umum yang telah disebutkan di atas.
Beberapa stanza yang panjangnya jarang merupakan bentuk puisi yang memerlukan penggunaan monostich, septet, nonet, dan dizain.
Mengapa puisi terdiri dari stanza?
Bayangkan stanza sebagai paragraf puisi. Sebuah bait dapat memiliki ide tunggal yang berbeda dengan bait lain, atau sebuah bait dapat berisi banyak ide yang saling bertentangan yang membangun konflik dalam puisi.
Stanza membantu penyair dengan penjajaran, pengulangan, dan perangkat puitis lainnya.
Sebagai catatan, puisi tanpa stanza disebut puisi isometrik. Puisi isometrik sama validnya dengan puisi dengan bait, dan bentuk isometrik membantu penyair menyatukan baris individu menjadi tema yang menyeluruh. Soneta kontemporer sering isometrik, seperti beberapa puisi bebas.
***
LARIK
(1. Dizain: 10 sukukata per larik, ababbccdcd)
malam jahanam kamu tak pulang
di simpang gardu dia menunggu
tak ubah bagai wanita jalang
bibir terkatup isak tersedu
berhembus angin mengusir malu
dingin menusuk ke tulang sumsum
dari gunung harimau mengaum
dia menunggu dengan setia
bibir membiru gugur sekuntum
kamu tak pulang gadis nestapa
(2. Nonet: suku kata 9, 8, 7, 6, 5, 4, 3, 2, 1)
saat pagi datang menjelang
riuh burung terbang jauh
asap tungku meninggi
angin dingin sejuk
aku merindu
derai kata
bibirmu
bilang
cuk!
(3. Ottava rima, abababcc)
dari utara mereka hadir
merambah bukit seberang laut
mengobar api dan bangkai anyir
seteru tangguh sang dewi maut
menarung nasib menantang takdir
perompak lanun laki berjanggut
akhirnya takluk di kaki gajah
sebelum sempat jajah menjarah
(4. Rhyme Royal, ababbcc)
kereta kencana sembilan kuda
jadi tumpangan pangeran bungsu
perjalanan panjang nuju istana
pesta perkawinan di hari sabtu
sepanjang jalan beribu-ribu
rakyat jelata tengadah tangan
harap presiden lontar bingkisan
(5. Sexain, petikan dari stanza kedua ‘Syarat dan Ketentuan Cinta’, Ikhwanul Halim)
Aku bukanlah lelaki sempurna dan tak 'kan menjadi,
Namun ku 'kan paripurna jika Cinta sungguh menghendaki.
Karena pada retakku goresan peta lajur hidup masa lalu—
Kisah yang tak mesti lupa tersebab pengalaman sebagai guru,
Nyata ajari makna Cinta maklumat sijil tata aturan berlaku,
Tiada isyarat lebur, menembus dinding cermin kau-satu-aku.
(6. Tanka, 5-7-5-7-7 suku kata)
Menjelang pagi
jiwa tak hendak tidur
menanya soal
mula alam semesta
hampa mutlak meledak
(7. Pantun jenaka satu bait, abab)
tinggi mendaki gunung Semeru
jangan lupa memetik awan
setiap saat pandang wajahmu
hilang suka berganti sariawan
(8. Triversen, bait pertama ‘Eugene Lodewijk Willem Maulana, 15 Juni 1944 – 06 Maret 2016’)
kematian datang tiba-tiba
tanpa memberi pertanda,
membawa duka dalam
(9. Gurindam, aa, sebab - akibat)
Kalau kau berbuat korupsi
sengsara nasib anak dan bini
(10. Monostich)
Majenun. O, Majenun!
Bandung, 3 Desember 2022
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H