"Tidak terlalu ramai malam ini," kataku kepada Danar sambil melihat sekeliling bar yang sepi.
Tunggu beberapa menit lagi," jawabnya. "Mereka semua sedang bermain gaple di pelelangan. Pelanggan tetap saya semua akan kembali segera tak lama lagi."
"Pria yang baik, Dr. Nasir," komentarku.
Danar mengambil asbak dan mengosongkannya ke dalam keranjang sampah.
"Oh, tentu," katanya, "sangat populer di sekitar sini. Dan kami sudah tidak menganggapnya sebagai  orang luar juga."
"Tapi kupikir dia orang lokal," kataku.
Danar menggelengkan kepala. "Bukan juga. Harus sudah tinggal di sini tiga puluh tahun atau lebih sebelum dianggap orang lokal. Seingatku Dr. Nasir sudah di sini lebih dari delapan belas bulan. Tapi dia memang orang baik, selalu berusaha membantu masyarakat. Pasti sudah kaya dari asalnyamenurutku."
Entah mengapa, aku merasa bahwa Dr. Nasir terlalu baik untuk menjadi nyata. "Dengan cara apa dia membantu orang?" aku bertanya.
"Yah, dia merawat orang-orang  tua seperti keluarganya sendiri. Kemudian lagi, dia melakukan banyak hal untuk Bulbul Effendi, orang tua yang kami panggil Feri Said."
"Pelukis yang kudengar sebelumnya?"
Danar mengangguk. "Benar dia. Manusia dengan penampilan paling aneh yang pernah saya lihat. Tinggal di kapal pukat tua di pelabuhan."