"'Ya' ayahmu sudah meninggal, atau 'ya', kamu melihatnya?" Awang bertanya, merasa bingung dan berharap yang pertama itu benar.
"Ya, aku melihatnya, dan ya, dia sudah meninggal!" sembur Bagas sebelum kembali menangis.
"Tapi itu tidak mungkin, Nak. Kita berdua tahu itu, bukan?"
Masih menangis, bocah itu mengangguk setuju. Jantung Awang melonjak ketika dia memikirkan sesuatu yang bahkan membuatnya takut.
"Apakah kau melihat ada yang lain selain ayahmu?" Awang bertanya dan merasakan hawa dingin mengalir di punggungnya.
"Tidak, eh  ... ya, memang ada Ada seorang pria berjas hitam."
Saat mata Awang mulai berair, dia buru-buru ke wastafel untuk menyembunyikan wajahnya dari bocah itu. Ini tidak mungkin terjadi!. Awang tidak marah, tapi dia tahu mungkin akan lebih baik baginya jika dia melakukannya. Dia bukan satu-satunya yang melihat sosok itu. Makhluk itu kini juga menghancurkan kehidupan seorang bocah!
"Kurasa sebaiknya kamu di sini dulu sepanjang hari ini, Bagas," kata Awang saat dia akhirnya berbalik dari wastafel.
"Tidak...saya tidak bisa. Saya harus menyelesaikan pengantaran surat kabar."
"Aku akan mengurusnya. Berapa nomor telepon kantor surat kabar?"