Jaka melihatku di bar dan berjalan menuju ke arahku. "Apa kabar, Pak Handaka?" tanyanya dengan ramah.
"Baik, terima kasih," jawabku. "Kedengarannya malam ini kalian sedang bergembira di sini."
Jaka menunjuk dengan ibu jarinya ke arah Andir. "Andir? Tidak, tidak ada yang istimewa, biarpun dia tak salah juga tentang pelukis tua itu. Dia sama gilanya dengan pemabuk yang tak pernah sadar."
"Siapa nama seniman itu?" tanyaku.
"Nama sebenarnya Bulbul Effendi. Tapi semua orang di sekitar sini memanggil dia Feri Said. Itu nama pelukis yang terkenal yang rambutnya disanggul, pernah dengar?'
Sebuah ide mulai terbentuk di benakku. "Apakah dia pernah turun ke darat?"
"Sekali-sekali," kata Jaka. "Dia turun untuk mengambil bahan keprluan, makanan, dan minuman keras. Tapi dia tidak pernah membuat masalah. Kebanyakan mabuknya di tengah laut."
Jaka mengucapkan selamat malam padaku dan pada Danar lalu berjalan keluar. Saat aku meletakkan gelasku di meja bar, aku melihat ke arah tangga.
Berjalan menuruni tangga dengan menenteng membawa koper, adalah Tuan Syarif ...
Dia memfokuskan matanya yang sipit ke arahku. "Wah, ini kejutan! Apa yang membawa Anda ke bagian dunia ini?" tanyanya.
"Aku sering datang ke sini, ada alasan yang sangat pribadi untuk datang ke sini." Aku menunjuk ke arah Kirana.
"Ah, tapi ini sangat luar biasa. Sungguh dunia yang kecil," kata Tuan Syarif. "Kapan Anda tiba?"
"Sekitar setengah jam yang lalu."
"Ya ampun," kata Tuan Syarif dengan nada menyesal, "dan saya akan pergi. Sayang sekali."
Anak muda bernama Nanang muncul dan membawakan koper Tuan Syarif . "Saya akan melihat apakah taksinya ada di sini, Tuan Syarif," katanya dan menghilang melalui pintu depan.
"Sudah lama di sini?" tanyaku.
"Saya tiba tadi malam," jawab Tuan Syarif. "Saya mendapat pesan telepon dari pelanggan saya yang tinggal di sini, dia seorang kolektor yang kaya raya. Saya mengatakan kepadanya bahwa saya dapat dengan mudah mengiriminya daftar stok saya, tetapi dia bersikeras agar saya datang ke sini. Buang-buang waktu sebenarnya, tetapi dia membayar semua pengeluaran saya."
"Sudah pernah ke sini sebelumnya?" tanyaku.
"Dulu, sudah lama sekali. Wilayah ini cukup menyenangkan, tetapi sedikit---kasar---untuk selera saya."
"Bagaimana kabar Nyonya Ria?" tanyaku.
"Sudah lebih baik, syukurlah. Rumah sakit tampaknya benar-benar merawat istri saya dengan baik."
"Itu kabar baik," kataku. "Sampaikan salam saya kepadanya."
"Akan saya sampaikan," kata Tuan Sayrif. Dia melirik jam di dinding. "Saya harus buru-buru atau saya akan ketinggalan kereta."
Tak lama berselang kemudian, aku berjalan kembali ke bar yang nyaris sepi, dan berkata kepada Kirana. "Bisakah aku berbicara denganmu dan ayahmu?"
"Ya, tentu saja," katanya. Dia berseru ke balik meja bar, "Ayah!"
Danar Hadi muncul dari belakang Kirana. "Ada apa?"
"Ada yang mau aku tanyakan. Bisakah Anda kemari sebentar?"
Danar dan Kirana bersandar di meja bar.
"Ingat tidak saat pertama kali aku ke sini, bahwa aku ada janji bertemu dengan seorang teman yang bernama David Raja?"
Danar mengangguk. "Ingat, tapi dia tidak pernah muncul."
"Saya pikir kamu bertemu dengan dia di Jakarta," kata Kirana.
"Seharusnya," kataku, "tapi dia juga tidak pernah muncul di Jakarta."
Aku merogoh saku dalam jaketku. "Aku punya beberapa foto David di sini, dan aku ingin Anda dan Kirana melihatnya."
Aku menyebarkan beberapa foto di meja bar. Satu pasfoto studio dan yang lainnya adalah foto-foto David yang kuambil dari kamera Ratna.
Kirana mengambil foto studio. "Tapi ini Tuan Roman Dusara!" serunya.
"Betul," Danar menguatkan.
"Ceritakan tentang Tuan Roman Dusara ini, Kirana," kataku cepat.
BERSAMBUNG
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H