Setelah Ratna pergi, aku menoleh ke Joko.
"Nah, apa pendapatmu tentang itu?"
"Dia mengatakan yang sebenarnya sekarang," kata Joko. "Sayang sekali dia tidak melakukannya sebelumnya."
Aku mengangguk setuju. "Bos, apakah benar David mencuri sesuatu?"
Joko mengangguk muram. "Iya, dia memang mencuri sesutau yang penting."
Joko duduk di lengan sofa. "Pernahkah kamu mendengar nama Raffi Ikhsan?"
Aku berpikir sejenak. "Namanya sepertinya tidak asing."
"Dia sangat terkenal di bidangnya," lanjut Joko. "Seorang pencipta pesawat. Dia telah bekerja selama bertahun-tahun untuk menciptakan drone baru. Awalnya menjadi lelucon di kalangan ilmiah, tetapi akhirnya dia berhasil menyempurnakannya."
"Apa yang istimewa dari drone ini?" tanyaku.
"Benar-benar otonom," jelas Joko, "dan sangat ekonomis untuk diproduksi. Mampu terbang tanpa campur tangan manusia."
"Sejauh mana?"
"Aku hanya bisa menggambarkannya dalam bahasa awam. Aku tidak akan membungkusnya dengan banyak istilah ilmiah, bahkan kalaupun aku bisa. Pesawat drone itu mempunyai kecerdasan anak umur sepuluh tahun."
"Tapi itu luar biasa!" seruku.
"Memang," kata Joko. "Begitu fantastis sehingga banyak orang, tidak semuanya orang baik-baik, menjadi sangat tertarik."
"Tapi bagaimana David bisa terlibat dengan semua ini?"
"David mengenal Raffi dan mencoba meminjam uang dari dia. Raffi menolak dan mereka bertengkar hebat tentang hal itu. Dari luar, idi bagaikan akhir dari masalah ini."
"Tidak begitu kalau aku tahu sifat David," aku menyela dengan nada datar.
"Tepat. Bagaimanapun juga, ada seseorang-sebut saja 'X'-menghubungi David dan menawarinya sejumlah besar uang untuk copy prototipe rancangan drone itu."
"Aku mulai mengerti," kataku. X ini tahu fakta bahwa David mengenal Raffi, meski Raffi masih marah padanya."
"Betul. Ide itu menarik bagi David dan dia memutuskan untuk mencobanya. Yah, dia beruntung: David mendapatkan desainnya, tetapi kemudian menyimpulkan--"
"--bahwa X tidak memberikan angka penawaran yang layak," aku menyela, "dan dia menocba menjualnya di pasar terbuka."
Joko tersenyum. "Kamu jelas tahu temanmu. Itulah yang terjadi. Namun, untuk membuat X senang, David menyiapkan salinan kedua dengan info tak berguna di dalamnya, dan memberikannya kepadanya."
"Aku mengerti," kataku. "Lanjut, Bos."
"David tahu bahwa X telah berhubungan dengan sejumlah pejabat China," lanjut Joko, "juga militer Iran, Rusia, Australia dan Amerika Serikat. Pada kenyataannya, dia mengadu domba satu melawan yang lain. David memutuskan untuk melakukan hal yang sama. China memerintahkan David untuk menemui Arsenio, makelar Kuba mereka, di Anyer. Mereka memberi tahu David bahwa Diego akan membayar harga yang diinginkannya dan mengumpulkan rencananya, tetapi David tidak mau mengambil risiko."
Joko berhenti dan menatap ujung sepatu kanannya. Kemudian dia melanjutkan. "Pertama-tama, Joko memberitahukan bahwa alasannya pergi ke Anyer adalah untuk bertemu denganmu. Ini untuk berjaga-jaga jika X menjadi curiga. Kedua, dia memutuskan untuk tidak menjalankan rencana Anyer. Nah, kamu tahu apa yang terjadi."
"Aku tidak tahu apa yang terjadi," aku mengoreksi.
Joko mengabaikan interupsiku. "David pergi ke Anyer. Dia tiba sehari sebelumnya dan tinggal di hotel dengan nama Roman Dusara. Tiba-tiba saja Tuan Roman menghilang," Joko menjentikkan jarinya, "begitu saja."
"Maksudmu dia diculik?"
"Ya."
"Oleh siapa?"
Joko mengangkat bahu. "Apa tebakanmu, Han?"
BERSAMBUNG
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H