Saya sudah menulis puisi dan cerpen dari tahun 2003, era friendster. Tahun 2014, Facebook memperkenalkan saya dengan Rumpies The Club, komunitas penulis fiksi Kompasiana. Tahun 2015, saya bergabung dengan Kutubuku, komunitas Kompasiana yang menyatukan Kompasianer pengarang buku, digawangi sahabat dan mentor saya, almarhum Thamrin Sonata (TS).
Mas TS-lah yang mengajari saya untuk nabung tulisan di Kompasiana. Dari Mas TS saya belajar menghargai karya sendiri dengan menjadikannya buku cetak. Dari Mas TS saya juga belajar ilmu penerbitan.
Itu yang membuat saya tidak tertarik untuk terikat kontrak dengan platform webnovel mana pun, meski mendapat iming-iming 'wah'. Saya ingin setelah saya tiada, karya saya abadi sebagai buku. Memang, pilihan ini tidak membuat saya mendapat pemasukan puluhan juta per bulan, tetapi setidaknya, jika buku cetak untuk konsumsi dalam negeri, karya saya dalam format ebook mengirimkan recehan dolar ke rekening saya setiap bulan. Tulisan saya di Kompasiana sudah jadi belasan buku ber-ISBN (dan akan jadi puluhan kapan pun saya mau).
Â
Mengapa menulis beberapa bagian judul novel dalam satu hari?
Tahun 2018 saya pernah mengikuti 'Tantangan 100 Hari Menulis Puisi'Â (dalam bahasa Inggris).
Seratus hari bagaikan dalam neraka.
Saya nyaris tidak menulis yang lain selain puisi dalam bahasa Inggris. Satu puisi selama seratus hari tanpa terputus sehari pun. Akibatnya, dalam mimpi pun saya nulis puisi bahasa Inggris.
Begitu saya mulai fokus untuk menyelesaikan novel yang terkatung-katung sembilan tahun lamanya, kasus yang sama terulang. Saya melebur dalam karakter tokoh hingga terbawa tidur.Â
Penyelesaiannya ternyata gampang banget, yaitu dengan membagi konsentrasi ke beberapa proyek novel. Dan juga dengan begini, ide yang muncul tak hilang percuma. Yang diperlukan hanya disiplin untuk TIDAK BERHENTI menulis.