Citraloka menjatuhkan pantatnya di sofa di samping Chintami yang sedang membaca koran lokal. Sejak Citraloka mengancam anak laki-laki terakhir yang biasa datang, dia telah menemukan seorang lelaki tua yang baik hati yang lewat rumahnya dalam perjalanannya.
Ya, dia orang gila. Rutenya merupakan jejak teror. Tapi, sekali lagi, siapa yang bukan orang gila saat ini?
Bukankah kita semua, pada tingkat tertentu, sudah gila?
Koran yang dibawanya berasal dari sepuluh hari yang lalu, tetapi lebih baik terlambat daripada tidak sama sekali.
Citraloka menghela napas berat saat dia terhempas ke sofa, dan Chintami juga menghela napas. Citraloka menghela napas karena dia stres. Chintami menghela nafas karena dia tahu kenapa. Sudah merupakan suatu hal lumrah untuk semua orang yang terlibat dengan Citraloka.
Citraloka menghela napas lagi dan kali ini, Chintami meletakkan koran dan menatapnya. "Oke," katanya. "Aku akan bertanya. Ada apa?"
"Itu Khiran," kata Citraloka sambil memandangi dinding batu di depan mereka. Sofa tempat mereka duduk adalah satu-satunya perabot di tempat suci dalam gua sang Penyihir. Selain itu, orngga bawah tananh dibagi menjadi kamar pribadi semua orang, gudang, ruang mantra, gudang senjata, ruang belajar, dapur, dan pintu biru.
"Dia," kata Citraloka, "menjadi .... Aku tidak tahu bagaimana menjelaskannya. Dia meminta lebih sedikit, memberi lebih banyak."
"Aku tahu, aku seharusnya tidak mengenalkanmu pada Drake," gumam Chintami.
"Dia berubah," kata Citraloka. "Dia menjadi berbeda."