Segera setelah aku kembali ke apartemen pagi itu, Tuan Syarif menelepon untuk menemuiku. Dia tampak lelah, khawatir, dan acak-acakan, dan membawa bungkusan amplop cokelat besar.
Dia berdiri dengan mata berkedip-kedip. "Saya mengembalikan foto yang Anda pinjamkan kepada saya."
Aku mengajaknya ke ruang tamu. "Tidak perlu mengembalikannya dulu," kataku. "Anda bisa mempostingnya kepadaku kapan saja. Aku benar-benar tidak terburu-buru."
"Saya tidak ingin foto itu rusak kalau terlalu lama di saya," kata Tuan Syarif malu-malu. "Saya pikir lebih baik saya mengantarkannya sendiri."
Aku mengambil bungkusan itu dan memberi isyarat kepadanya untuk duduk di kursi sofa. "Aku sangat menyesal tentang kecelakaan istri Anda," kataku. "Dari membesuknya ke rumah sakit pagi ini?"
Dia mengangguk. "Masih belum ada perubahan."
Dia melepas kacamatanya dan melap dengan kardigan lusuhnya. "Anda benar-benar sangat baik telah membereskan administrasi rumah rumah sakit kemarin," katanya.
"Hanya itu yang bisa aku lakukan."
Tuan Syarif memijat matanya yang lelah. Dia tampak kecil dan menyedihkan. "
"Saya khawatir, Tuan Handaka," katanya. "Sangat khawatir. Saya menghabiskan sebagian besar waktu pagi di kantor polisi. Tampaknya polisi tidak percaya kalau itu kecelakaan lalulintas biasa."