Mohon tunggu...
Ikhwanul Halim
Ikhwanul Halim Mohon Tunggu... Editor - Penyair Majenun

Father. Husband. Totally awesome geek. Urban nomad. Sinner. Skepticist. Believer. Great pretender. Truth seeker. Publisher. Author. Writer. Editor. Psychopoet. Space dreamer. https://ikhwanulhalim.com WA: +62 821 6779 2955

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Penyihir Kota Kembang: XI. Gambit Menteri (Part 1)

4 November 2022   17:30 Diperbarui: 4 November 2022   17:35 289
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
dok. pri. Ikhwanul Halim

"Ibuku adalah satu-satunya yang kumiliki, segala hal yang kutahu. Dan Citraloka mengambilnya dariku.

Maka aku akan mengambil semua yang dia cintai agar dia bisa mencecap asin air mataku, agar dia bisa menghirup amis darahku."

Niranjana, Penyihir Darah dan Air Mata

***

IPDA Agung duduk di mejanya dengan pion di jarinya. Di hadapannya bidak putih. Di seberangnya hitam.

Agung telah kehilangan benteng dan menteri, meski miliknya masih banyak, tetapi hitam lebih banyak lagi. Dan pion yang dipegangnya adalah penentu.

Waktunya tinggal lima hari lagi untuk menyerahkan laporan. Lima hari sampai tugasnya dicabut. Lima hari sebelum dunianya seperti yang dia tahu itu berubah dan runtuh menimpa kepalanya.

Dia butuh satu laporan. Hanya satu. Dia hanya perlu membawa seseorang. Dan hanya penyihir itu yang bisa dia pikirkan.

Agung ia memutar pion di antara jari-jarinya. Ini adalah kesempatan terakhirnya yang terlihat di kotak papan. Jika dia kalah, dia akan bermain dalam kegelapan melawan Entah-Apa. Risikonya besar, tapi begitu juga ganjarannya. Itu merupakan langkah awal, tapi apakah hasilnya sepadan?

Asistennya mengintip dari balik pintu.

"Sudah kubilang," katanya. Suaranya serak, "aku sedang berpikir. Dan sudah kubilang jangan pernah menggangguku saat aku sedang berpikir."

Namanya Nancy atau Ningsih atau sesuatu seperti itu, tetap melanggar perintahnya. "Saya --- saya minta maaf, Pak," katanya. "Tapi --- tapi ada orang yang ingin bertemu Bapak."

Agung menegakkan punggungnya. "Aku tidak menerima tamu."

Nancy---atau Ningsih---menarik napas panjang. "Saya tahu Pak," katanya. "Tapi dia bilang dia mengenal bapak secara pribadi. Dari Wisata Rimba."

Tubuhnya menegang. Masih memegang bidak, pikirannya kembali ke nyala api. Teror. Banjir darah.

"Pak?"

Dia meletakkan bidak di atas mejanya dan berdiri, matanya mengamati ruangan. Lalu jendela. Tempat yang memungkinkan untuk melarikan diri.

"Pak?"

"Apa warna bajunya?"

Nancy---atau Ningsih--- menatapnya dengan jidat berkerut, matanya penuh dengan pertanyaan yang tak diucapkannya. "Ehm... merah, Pak."

"Biarkan dia masuk," katanya.

Ketika pintu ditutup, dia meraih laci meja dan mengeluarkan senjatanya. Dia memeriksa apakah berisi peluru, lalu meletakkannya.

"Pistol yang bagus."

Agung melompat mundur, senjatanya diarahkan ke dahi pemilik suara.

"Sayang sekali itu tidak akan ada gunanya bagimu," kata wanita itu, menatapnya, tersenyum, "percuma kamu tujukan itu kepadaku."

Agung melihat ke pintu. "Aku tidak mendengarnya terbuka."

Perempuan itu melambaikan tangan. "Pintu adalah untuk orang yang tidak memiliki imajinasi," katanya. "Sekarang, maukah kamu duduk, Detektif? Banyak yang harus kita diskusikan."

Agung menatapnya sambil berhitung sepuluh hitungan, dan ketika dia yakin jantungnya tidak meledak menembus tulang rusuknya, dia duduk tanpa melepaskan senjatanya.

Perempuan itu melirik tangannya dan tersenyum.

"Tanyalah," katanya. Senyumnya menghilang.

Agung menatapnya. "Bertanya apa?"

Perempuan itu meletakkan tangannya di atas meja, menggeser kantong plastik KFC dan mengernyitkan hidung dengan ekspresi jijik.

Kemudian tatapannya kembali. Agung merasakan getaran hawa dingin menjalar di tulang punggungnya. Mata perempuan itu begitu gelap, begitu tajam, bagai terbuat dari bayangan.

"Aku tidak punya banyak waktu, Detektif," katanya. "Ada hal-hal besar yang tergantung pada kita. Ajukan pertanyaan yang perlu kamu tanyakan dan aku akan menjawabnya, dan setelah itu, kita bisa bicara."

Dengan tubuh gemetar dan air mata bercucuran, Agung bertanya, "Mengapa?"

Hanya itu yang ingin ditanyakannya.

Perempuan itu menatapnya dengan tatapan sedingin es.

"Dia bukanlah seperti yang kamu kira. Aku melakukan apa yang harus kulakukan untuk perkumpulanku. Demi kebaikan semua penyihir."

"Dia tidak ada hubungannya denganmu." Tangan Agung semakin erat mencengkeram pistol. "Dia tidak ada hubungannya sama sekali dengan kalian!"

BERSAMBUNG

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun