"Sudah kubilang," katanya. Suaranya serak, "aku sedang berpikir. Dan sudah kubilang jangan pernah menggangguku saat aku sedang berpikir."
Namanya Nancy atau Ningsih atau sesuatu seperti itu, tetap melanggar perintahnya. "Saya --- saya minta maaf, Pak," katanya. "Tapi --- tapi ada orang yang ingin bertemu Bapak."
Agung menegakkan punggungnya. "Aku tidak menerima tamu."
Nancy---atau Ningsih---menarik napas panjang. "Saya tahu Pak," katanya. "Tapi dia bilang dia mengenal bapak secara pribadi. Dari Wisata Rimba."
Tubuhnya menegang. Masih memegang bidak, pikirannya kembali ke nyala api. Teror. Banjir darah.
"Pak?"
Dia meletakkan bidak di atas mejanya dan berdiri, matanya mengamati ruangan. Lalu jendela. Tempat yang memungkinkan untuk melarikan diri.
"Pak?"
"Apa warna bajunya?"
Nancy---atau Ningsih--- menatapnya dengan jidat berkerut, matanya penuh dengan pertanyaan yang tak diucapkannya. "Ehm... merah, Pak."
"Biarkan dia masuk," katanya.