Mohon tunggu...
Ikhwanul Halim
Ikhwanul Halim Mohon Tunggu... Editor - Penyair Majenun

Father. Husband. Totally awesome geek. Urban nomad. Sinner. Skepticist. Believer. Great pretender. Truth seeker. Publisher. Author. Writer. Editor. Psychopoet. Space dreamer. https://ikhwanulhalim.com WA: +62 821 6779 2955

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Penyihir Kota Kembang: X. Mimpi-mimpi (Part 2)

3 November 2022   17:00 Diperbarui: 3 November 2022   17:00 180
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Chintami tahu bahwa Citraloka menyembunyikan sesuatu.

Untuk menjadi pemimpin, seseorang harus menyembunyikan sesuatu. Bukankah merahasiakan sesuatu merupakan ajaran Machiavelli? Ada hal-hal sederhana yang harus dilakukan saat berada di puncak.

Dia juga punya rahasia sendiri.

Hal yang telah menjadi seorang penyihir. Pikiran tentang hal-hal yang muncul dalam tidurnya. Dia juga memikirkan kejadian itu ketika dia terbang melintasi dunia bersama Citraloka, yang mencengkeram Mbah Doko Sahir di tangannya.

"Kita menyelamatkan nyawa jika kita mampu," Citraloka pernah berkata padanya, dulu. "Dan kita mengambilnya bila perlu. Saat kita tidak punya pilihan lain."

Citraloka mematahkan leher si dukun tua seolah-olah itu bukan apa-apa, dan Chintami melihat Citraloka berubah menjadi gergasi yang meraung dan menginjak-injak mengguncang alam semesta, dan Chintami menangis, dan menangis, karena---

Dia tersesat dalam kegelapan, dan suaminya duduk di kursi, makan. Dia berdiri di sana menatapnya, dan suaminya ... dia terus makan. Chintami melihat lebih dekat apa yang dia makan, dan dia menutup mulutnya, matanya lebar.

"Berhenti!" dia berteriak, tapi suaminya tak berhenti memakan sesuatu: bola mata Chintami.

Dia memegang leher suaminya. "Berhenti!" Tami mencekiknya dan melemparkannya dari kursi. Dia bergerak untuk untuk mengambil piring di meja, tapi suaminya sudah kembali duduk, masih makan, masih mengunyah dengan gembira. Tami tahu itu adalah matanya karena dia tahu ekspresi bersalah yang ada di situ. Ekspresi pengkhianatan. Kebohongan.  

Itulah ekspresinya sepanjang waktu dengan para penyihir, dengan Citraloka, dengan suaminya. Dia mendengar langkah kaki saat dunia melengkung dan bergetar. Dia menghela nafas dan mulai menangis air mata darah ketika sebuah tangan menyentuh pundaknya.

Saat dunia kiamat dan sekarat, hanya satu kata yang terdengar.

"Kakak."

Dan dia menjerit sekeras-kerasnya hingga punggungnya patah dan paru-parunya pecah dan...

***

Ametia sangat menyukai para penyihir.

Dia bergabung dengan KOHIRKOBANG setelah kabur dari rumah, tujuh tahun silam.

Dia menyukai perasaan bebas, tetapi membenci rasa lapar. Citraloka menemukannya. Saat dia terbaring tertelungkup di tempat tidurnya dengan air liur menetes ke bantal, dia memikirkan hidupnya, dan masa lalunya, dan kegelapan yang dia tinggalkan.

Kegelapan yang dia pikir telah dia tinggalkan.

Tanah kering dengan pasir hitam membentang sejauh yang bisa diterima alam semesta. Matahari sekarat dan terbakar dengan sengatan sinar kuning yang lelah. Dia sendirian.

Tidak. Dia tidak sendiri.

Sesosok tubuh terhuyung-huyung, jatuh, berdiri. Sosok kecil, lelah. Adiknya.

Dia berlutut ketika dia melihatnya dan berlari ke arahnya, dengan seluruh kekuatannya, seluruh kekuatan yang tidak dapat dia gunakan untuk menyelamatkannya malam itu, dan dia mencoba untuk memegangi adik laki-lakinya di tangannya untuk terakhir kalinya, tetapi dia jatuh ke pasir hitam, tubuhnya menjadi pasir.

Air mata di pipinya terasa panas. Pasir hitam mulai menyatu, butir demi butir, sampai membentuk ular yang begitu besar hingga menutupi matahari.

Tapi masih belum selesai.

Pasir-pasir bergerak membentuk tentara dengan senjata yang cukup tajam untuk membelah bulan menjadi dua. Ular itu meraung ke langit. Dunia berguncang, dan tentara pasir berteriak menandinginya.

Semua berdiri melawan Ametia yang masih menangis berlutut di atas pasir yang dulunya adalah adiknya.

Ametia mendongak, membuang ingus dari hidungnya, lalu membungkuk dan mencium pasir di tangannya. "Selamat tinggal," bisiknya.

Dia memandang ular pasir raksasa dan pasukan tentara pasir.

"Ini mimpi, bukan?" Dia berkata, berjalan perlahan ke arah mereka. "Mimpi yang sebenarnya mimpi?"

Tinjunya mengepal begitu kuat hingga kukunya menusuk ke telapak tangannya sehingga mengucurkan darah. Persis seperti yang diinginkannya. "Baik."

Citraloka melihat seorang gadis, tersesat, lapar, bertahun-tahun yang lalu, tetapi dia dia melihat keturunan dari nenek moyang penyihir yang sangat sakti.

Darahnya jatuh di pasir, dan apapun yang disentuhnya mengeluarkan suara mendesis. Petir menyambar di sekelilingnya.

Tentara-tentara pasir tiba-tiba terlihat ragu-ragu dan berhenti berteriak. Ular raksasa mendadak menahan raungannya.

"Karena," kata Ametia, saat petir semakin menggila dan bongkahan batu cadas hitam muncul di sekelilingnya, "itu berarti aku bisa melakukan sesuatu yang tidak pernah bisa kulakukan di kehidupan nyata: mengikhlaskan."

Ular raksasa mengucapkan tolong, tidak, dan ampun, tapi Ametia tidak berniat mengabulkannya.

Dan ketika dia membakar dan menghancurkan seluruh pasukan sambil tersenyum dan tertawa, Ametia tidak bisa mendengar apa yang pernah dikatakan oleh adiknya berkali-kali,

"Pahlawan."

***

Citraloka tidak tidur.

Sudah lebih dari dua ratus tahun dia merasa tidak perlu melakukannya. Jadi, di malam hari, dia melakukan apa yang dia lakukan di siang hari. Dia bekerja.

Selalu ada jimat untuk dibuat, ramuan untuk dimantra-mantra, tentu saja, dia punya toko untuk dijalankan, dan dia menjalankannya dengan profesional.

Kadang-kadang saja Citraloka beristirahat.

Pernah ada lelaki yang dicintainya. Lelaki yang dia cintai lebih dari bulan, lebih dari matahari, lebih dari jiwanya sendiri. Tapi lelaki itu mengkhianatinya dengan cara yang paling menyakitkan, jadi dia menghukumnya dengan cara yang paling buruk, mengutuknya seumur hidup, bahkan setelah kematian.

Namanya Bahadur Harinaga.

Dan pada hari-hari seperti ini, ketika Citraloka beristirahat, dia akan pergi ke tempat ujung gua tempat sungai bermuara untuk menyalakan lilin dengan api biru.

Dia duduk di bangku panjang yang terbuat dari kayu yang dipotong dari pohon sagu purba, dan menghela nafas. Lalu CItraloka mengeluarkan kotak kayu berhiaskan bulu burung yang telah punah ratusan tahun lalu, meletakkannya di pangkuannya dan membukanya.

Tengkorak di dalamnya mengucapkan satu-satunya kalimat yang bisa diucapkannya sampai dunia berakhir.

"Citraloka, cintaku."

BERSAMBUNG

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun