Tombak petir bercabang-cabang menjalar melintasi awan bagai jaring laba-laba neon. Bunyi guntur membuat mama Tiwi terlonjak. Dia melingkarkan lengannya memeluk Tiwi saat perahu bergetar. "Jangan khawatir, sayang. Kamu tahu papamu seorang pelaut berpengalaman."
"Dibandingkan dengan badai lain yang pernah saya temui sebelumnya, ini bagaikan angin sepoi-sepoi." Kapten Papa memaksakan senyum dan menuju ruang kemudi.
Zaki berlari mengejarnya. "Butuh bantuan, Om?"
"Tidak. Kalian semua turun ke tempat aman di dek bawah."
"Aku setuju!" teriak mama Tiwi. Air mengalir di wajah dan rambutnya. "Ayo pergi!"
Tiwi mendengar papanya saya berteriak mengatasi deru angin, "Semuanya. Pakai life jacket. SEKARANG!"
Saat itu, gelombang besar ombak putih asin meledak ke udara dan memercik ke atas mereka. Tiwi menyeka matanya dengan punggung tangan lalu memberi isyarat kepada Miko dan Zaki. "C'mon, guys!"
Mamanya berlari menembus benteng hujan. Guntur menyambar di atas kepala. Tiwi dan yang lainnya mengikuti. Ombak besar meledak di lambung kapal dan memenuhi udara dengan volume air laut yang runtuh.
Perahu itu berayun saat ombak pecah di atas pagar samping, menggoyahkan kaki Tiwi. Dia meraih kursi geladak yang ditanam ke lantai dan menenangkan diri. Air, sedalam sepuluh atau dua belas senti meter menyebar ke seluruh bagian luar fiberglass, mengancam menyapu kakinya dari bawah.
Haruskah dia menyimpang dari jalur untuk mendapatkan jaket pelampung dengan kemungkinan terlempar ke laut? Tidak mungkin. Ada banyak di lantai bawah, dan dia ingin turun dari dek atas ini.
Perlahan dia berjalan menuju pintu kabin. Tepat di atasnya, bunyi guntur kembali membahana membuat bulu tangannya berdiri. Sambaran cahaya putih yang lebih menyilaukan sebelum seberkas petir pecah menjadi beberapa cabang. Tiwi menarik napas dalam-dalam dan mengembuskannya. Dia berharap bisa sampai ke kabin. Begitu dia berada di balik pintu itu, dia yakin dirinya akan baik-baik saja. Tiwi yakin papanya bisa mengarahkan Earth Wanderer dengan selamat kembali ke pulau.
Perahu kembali oleng. Kaleng minuman soda dan bongkahan es batu dari pendingin yang terbuka melesat, nyaris mengenai kepalanya. Menggigil, Tiwi melindungi mukanya  dengan lengan, menggertakkan gigi dan beringsut ke depan.
Hampir sampai. Hujan yang menyengat turun lebih deras. Tiwi mengambil satu langkah maju dan terpeleset, jatuh pada satu lutut. Dia menggigir bibir menahan rasa sakit yang menjalar di kakinya untuk menahan jeritan. Tidak perlu membuat yang lain khawatir.
Saat dia mendorong tubuhnya ke atas, dinding air yang sangat besar naik tinggi di atas mereka, memuncak, dan dalam gerak lambat perlahan-lahan jatuh menimpa kepala mereka seperti bangunan runtuh. Dia mencoba berteriak dan tertelan seteguk air laut yang pahit saat dia menabrak sesuatu yang keras. Dia melingkarkan tangannya ke benda itu yang ternyata teralis dan berpegangan dengan sekuat tenaga. Getaran keras sekan merobek tubuhnya. Air garam menyengat mata dan tenggorokan, tetapi Tiwi tidak berani melepaskan cengkeramannya.
"Tiwi!"
Dia tersentak dan menoleh ke arah suara teriakan panik. Saat air melewatinya, dia melihat sekilas wajah mamanya. Mamanya menjerit, tampak ketakutan di matanya yang membelalak, mulutnya menganga, tangannya mengulurkan tangan untuk meminta bantuan saat dia terlempar dari perahu dan ditelan oleh laut yang gelap dan ganas.
"Mamaaa!" teriak Tiwi sejadi-jadinya.
BERSAMBUNG
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H