Setelah Ratna pergi, aku berediri menatap kaleng tembakau dari Pertempuran Teminabuan. Tidak memberiku ide apapun. Aku berpikir bahwa saya seharusnya bersikap keras terhadap Ratna dan mengorek informasi darinya.
Saat ini aku sedang dalam kondisi yang sangat buruk. Aku pergi ke meja minuman dan mencampur gin dan tonik dalam gelas bir....
***
Hari berikutnya aku memutuskan untuk men datangi Warung Emak. Aku harus mencari tahu alasan pertemuan sembunyi-sembunyi antara David dan Ratna di lokasi yang tak masuk akal.
Jika Ratna menyebut salah satu dari selusin bar yang ada di kota, itu masih masuk akal. Tetapi keduanya bertemu di warung pinggir jalan lintas provinsi terdengar sangat luar biasa.
Saat aku memasuki halaman parkir warung, aku semakin bertanya-tanya. Warung Emak hanyalah gubuk kayu tak jauh dari pintu keluar tol Cikampek Utama. Tampak bobrok dan menyedihkan, dan tidak memberikan sambutan yang baik kepada yang mampir.
Papan nama menyatakan bahwa makanan panas tersedia dua puluh empat jam, siang atau malam, dan bahwa nama pemiliknya adalah Emak Ema. Aku memarkir mobil dan masuk.
Interiornya buruk. Setengah lusin meja tua dengan bangku kayu kasar, dan di setiap meja berdiri sebotol kecap dan satu set saus plastik murahan. Sebuah teko teh dan beberapa mangkuk nasi yang tampak kusam di bawah penutup kaca. Di belakang konter, membaca koran, duduk seorang wanita besar  berotot yang kuduga sebagai Mak Ema.
Seperti warungnya, Mak Ema kasar dan tidak terlalu bersih. Rambutnya beruban dan tergerai kusut di kepalanya. Dagunya berlipat tiga dengan dada montok bergayut. Matanya kecil tertutup asap rokok tapi tajam.
Dia menatapku, dan aku bertanya-tanya sekali lagi apa dia memiliki kesamaan dengan David dan Ratna.
Ma melirik ke atas dan bangun dari kursinya dengan susah payah, lalu menyeka tangannya di gaunnya yang penuh noda minyak, dan menyingkirkan sejumput rambut dari matanya.