Taman adalah tempatku untuk menjernihkan pikiran. Hari ini pohon-pohon menggugurkan daunnya, rumput berwarna cokelat, aliran sungai yang dangkal berhenti, diam menunggu.
Di tepi kolam, sekarang hanya area berlumpur, bahkan bebek menghilang, ada bangkuku.
Seseorang telah merebutnya. Seorang lelaki tua, gelandangan dengan mantel usang, kerah tegak.
Sekarang pertengahan musim kemarau.Aku duduk, sejauh mungkin darinya karena dia mungkin bau.
Dia memutar kepalanya perlahan, menatapku dengan mata muram, dan mengangguk seperti dahan berat yang membungkuk tertiup angin.
Dan tanpa sadar aku bicara, menumpahkan kesah. Daun-daun berguguran di ujung selokan terbawa sisa air hujan, sampah hidupku, mengalir tanpa hambatan. Di taman yang gersang ini.
"Dia menyampaikannya dengan cara yang sangat manis. Bagaimana mungkin aku bisa marah dan berteriak? Dan adalah bosku. Jika aku memukulnya, aku akan kehilangan pekerjaan. Aku mencoba untuk menjadi manusia beradab. Rasionalisasi perusahaan biasa terjadi di masa sulit, aku tahu itu. Tapi mengapa aku? Aku tidak mengira bahwa aku yang terkena, apalagi... Dan dia membuatku merasa tak berguna. Dia mengatakan itu bukan keputusannya, masa-masa sulit, merasionalisasi tenaga kerja, bla bla bla. Tentu saja dia. Aku menjadi hati nuraninya yang merasa bersalah dan menatap wajahnya."
Gelandangan tua itu mengangguk. Dia mengerti. Dia telah melihat semuanya. Lumpur kehidupan menempel padanya, aku tahu. Tapi dia selamat.
"Tetapi siapa yang mau mempekerjakan seumuranku?" lanjutku. "Meski akucukup bugar, cerdas, membuat presentasi dalam bahasa Inggris yang bagus. Rasanya sia-sia saja sebagian umurku dihabiskan di tempat yang disebut universitas. Ijaah dan upacara wisuda. Aku memakai toga, ibu dan ayah berfoto, makan siang di Ayam Suharti. Aku mengerti akuntansi. Bahkan menggunakan komputer kalau saja mereka memberikanku laptop."
Gelandangan tua itu mengangguk. Dia bau, mengerikan... tapi meskipun demikian, seorang pendengar yang baik bagi orang-orang yang depresi.