Mohon tunggu...
Ikhwanul Halim
Ikhwanul Halim Mohon Tunggu... Editor - Penyair Majenun

Father. Husband. Totally awesome geek. Urban nomad. Sinner. Skepticist. Believer. Great pretender. Truth seeker. Publisher. Author. Writer. Editor. Psychopoet. Space dreamer. https://ikhwanulhalim.com WA: +62 821 6779 2955

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Legenda Sang Perusak (Bab 40)

18 Oktober 2022   11:30 Diperbarui: 18 Oktober 2022   11:33 131
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
dok. pri. Ikhwanul Halim

"Kamu seharusnya tidak menakut-nakuti anak-anak itu. Aku tidak tahu apakah ada kebenaran dalam cerita mereka, tapi aku tidak suka tempat itu karena alasanku sendiri, dan kita tidak perlu ada lagi cerita yang beredar bersama angin atau kita akan pernah berhasil menyingkirkannya."

"Aku tahu itu, Kuntum, tapi aku hanya tidak ingin ada yang terluka di sana. Aku belum memberitahumu ini, tapi aku ada di sana malam itu setelah kita bertengkar, dan sesuatu terjadi padaku."

"Apa? Kenapa kamu tidak memberitahuku!"

"Aku ketakutan malam itu, dan aku tidak ingin mengungkitnya dan menakut-nakuti diriku lagi. Aku pikir kamu juga tidak perlu tahu tentang malam itu, Sayang. Tapi jika kamu memang ingin, aku akan menceritakannya padamu."

"Kamu harus mulai memberitahuku saat itu juga jika sesuatu terjadi padamu, Awang. Kalau tidak, aku akan semakin khawatir setiap kali kamu pergi meninggalkan rumah."

Setelah jeda singkat, Awang mulai bercerita.

"Kamu tahu mengapa aku pergi malam itu. Ketika aku melaju pergi menuju salah satu lebuh raya, tetapi hari itu perasaanku tidak enak. Sepertinya akan terjadi hal buruk, jadi aku berbalik dan mengemudi pulang kembali.

Saat melewati rumah duka, tiba-tiba aku merasa ingin masuk. Hal berikutnya yang kutahu, aku membuka pintu belakang. Aku merasakan sesuatu yang aneh di sana, dan sesuatu itu membuatku mual bahkan sebelum aku menyentuh pegangan pintu. Maka aku berbalik untuk pergi. Namun, ketika aku sampai di mobil, aku melihat kilatan cahaya datang dari salah satu jendela rumah duka. Aku pikir seseorang telah masuk, jadi bertentangan dengan naluriku yang sebenarnya, aku kembali untuk melihat siapa yang mencoba merampok tempat itu. Masih ada beberapa barang di sana yang bernilai sedikit uang, kamu tahu, dan aku tidak bisa kehilangannya karena pencuri.

Saat itu benar-benar gelap. Aku tersandung di ruang belakang sebelum sampai ke selasar. Jatuh ke lantai, aku tidak pernah begitu takut seumur hidupku. Ketika mulai menyusuri lorong, saya merasakan suatu kehadiran yang sepertinya mengurungku. Hawa dingin yang terus berputar di sekitar aula, tapi kupikir itu pasti karena pintu belakang terbuka. Tapi kemudian kehadirannya tampak semakin kuat, seolah tahu bahwa aku tidak akan berbalik dan pergi. Udara menjadi begitu berat dan menghimpit sehingga kupikir aku akan mati tercekik. Mungkin itu hanya khayalanku, tetapi ketika aku hamper pingsan, aku mendengar langkah kaki. Ketika aya menyentuh tanah, hal terakhir yang kuingat kulihat adalah sosok gelap menjulang di atasku.

Aku tidak tahu berapa lama sampai aku keluar. Kamu mungkin mengetahuinya lebih baik dariku karena aku tidak ingat jam berapa saya pergi atau jam berapa aku pulang. Ketika terbangun, aku merasakan sakit kepala yang luar biasa. Ada benjolan di kepala sebesar bola golf, entah karena dipukul, atau karena dibanting ke lantai. Aku lebih suka berpikir bahwa itu karena seseorang mengayunkan pemukul, karena itu akan mengesampingkan hal-hal lain yang telah memenuhi imajinasiku sejak saat itu.

Bagaimanapun juga, ketika sadar, sensasi tercekik hilang, dan aku bangun dan berlari keluar dari sana secepat yang kakiku bergerak tanpa benar-benar menabrak dinding.

Ketika aku lari dari rumah duka dan pulang ke rumah, aku merasa seribu kali lebih baik. Tapi merasa lebih baik tidak cukup membuatku mampu memberitahumu malam itu. Kalau kamu ingat, aku langsung tidur, meskipun aku terjaga sepanjang malam. Aku mendengar setiap suara yang masuk ke kamar tidur kita malam itu sebagai langkah kaki, dan setiap bayangan tampak seperti akan menyerangku.

Sekarang kamu mengerti mengapa aku memperingatkan budak kecil itu untuk menjauh dari sana. Jika orang lain meninggal di tempat itu, aku pikir aku mungkin akan menjadi gila. Ada sesuatu yang sangat salah dengan tempat itu, dan aku hampir berpikir untuk membakarnya agar tidak menyakiti orang lain."

Mobil meluncur dalam keheningan saat Kuntum mencoba mencerna cerita Awang. Memikirkan bahwa seseorang hampir membunuh suaminya, dan dia bahkan tidak mengetahuinya. Perasaannya benar-benar kacau. Sudah cukup buruk bahwa Awang tidak memberitahunya, tetapi dia sekarang tahu itu tidak masalah karena secara naluriah Awang akan memberitahunya, dan Kuntum tidak bisa membayangkan bagaimana suaminya menangani siksaan semacam itu.

Dampak dari pemikiran ini adalah banjir air mata yang mengalir dari matanya, dan dia mengulurkan tangan untuk memeluk Awang, mengetahui bahwa dia hampir kehilangan lelaki itu selamanya. Pembicaraannya harus menunggu. Tampaknya tidak penting sekarang, dan membuatnya kesal lagi akan sangat tercela. Kuntum mencintai Awang dan tidak ingin kehilangannya. Hanya itu saja yang penting baginya.

BERSAMBUNG

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun