Mohon tunggu...
Ikhwanul Halim
Ikhwanul Halim Mohon Tunggu... Editor - Penyair Majenun

Father. Husband. Totally awesome geek. Urban nomad. Sinner. Skepticist. Believer. Great pretender. Truth seeker. Publisher. Author. Writer. Editor. Psychopoet. Space dreamer. https://web.facebook.com/PimediaPublishing/ WA: +62 821 6779 2955

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Legenda Sang Perusak (Bab 38)

16 Oktober 2022   15:00 Diperbarui: 17 Oktober 2022   10:53 111
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
dok. pri. Ikhwanul Halim

Panti jompo di Pucuk senyaman biasanya di pagi hari. Sebagian besar pasien, atau 'warga' seperti yang mereka lebih suka menyebut diri mereka sendiri, jauh ke dalam tidur gelisah mereka dan tidak akan keluar dari itu sampai sekitar tengah hari. Usia sangat membebani orang-orang ini. Sebagian besar hampir tidak bisa ke kamar mandi sendiri, apalagi melangkah melampaui batas yang ditetapkan oleh dinding panti.

Di ruang direktur, sebuah pertemuan yang sangat serius sedang berlangsung. Dewan Pengurus Yayasan telah sampai pada kesimpulan bahwa direktur saat itu tidak cocok untuk menjalankan panti mereka, bagaimanapun terhormatnya, mengingat catatan masa lalunya yang jelas di tempat itu. Tumpukan besar dokumen yang belum terkirim di samping mejanya adalah dasar argumen dan fondasi di mana pemecatannya dituntut untuk disegerakan.

"Kami masih tidak mengerti mengapa Anda tidak pernah mengirimkan semua dokumen ini, Gun. Kami telah mendata serangkaian keluhan yang hampir tak ada habisnya dari kerabat penghuni, Anda paham?" kata anggota dewan senior dengan kasar, "Dan kita telah membahas masalah ini lebih dari sekali."

"Saya sedang menyiasatinya," Direktur berhasil menyampaikan kata-katanya dengan susah payah.

"Tentu, Gun. Kami bisa percaya itu, seperti yang Anda lakukan lima tahun lalu ketika beberapa wartawan surat kabar pertama kali masuk ke ruang Anda."

Terperangkap oleh kemalasan dan kebodohannya sendiri, direktur meletakkan kepalanya di atas meja yang dulunya adalah mejanya dan mulai menangis. Semangat kerja yang setengah-setengah akhirnya membuat dia kehilangan pekerjaannya dan diragukan bahwa dia bisa mendapatkan yang lain di masa depan karena itu.

Ketika anggota dewan pengurus mulai keluar dari ruangan, salah satu yang terakhir pergi melihat sekeliling untuk melihat mantan direktur untuk terakhir kalinya. Gumpalan asap menarik perhatiannya, dan sedetik kemudian, api menyembur dari tumpukan kertas.

"Api!" dia berteriak, saat dia menarik pria di depannya kembali ke kantor. "Ambil air! Cepat!"

Melpeas jasnya dari punggungnya, dia melemparkannya ke atas api dan menatap direktur dengan tatapan kemarahan.

"Mengapa kau melakukan itu?" semburnya marah. "Tugasmu sudah selesai. Mengapa kau harus mengacaukan tugas penggantimu?"

"Tapi aku tidak melakukannya," rengek direktur. "Aku bersumpah, aku tidak melakukannya.."

"Persetan, Cuma kau pelakunya! Kau satu-satunya di ruangan ini yang punya alasan untuk melakukannya," kata anggota dewan ketika kerumunan orang lain mulai mengelilingi meja direktur.

Mendorong tumpukan kertas dan dokumen ke lantai untuk menyebarkannya, anggota dewan menyaksikan dengan takjub ketika salah satunya langsung berasap dan terbakar. Sebelum ada yang bisa memadamkan api, salah satu dari mereka telah mengambilnya. Nyala api menjalar ke tangannya dan dia melambaikan kertas-kertas itu dengan panik untuk memadamkannya. Secangkir air terbang di udara diikuti oleh semburan asap saat nyala api dipadamkan. Telah dipastikan ini adalah hari kerja terakhir direktur dalam karirnya menuju rumah pensiun. Tidak ada yang menghirimkan karangan bunga terima kasih.

Menatap kertas tua yang aneh itu, orang-orang melihat kertas itu Kembali membara meskipun masih basah. Air Kembali ditumpahkan dari sekitarnya karena semua gelas yang masih di tangan berkontribusi mencegah kembalinya api.

"Surat apa itu?" salah satu pria tersedak saat asap terus menguar.

Berjuang untuk membuka perkamen sebelum kembali menyala, mereka saling berpandangan dengan bingung ketika akhirnya mereka berhasil membukanya.

"Aku tidak bisa membaca apa-apa isi surat itu," adalah kesepakatan bersama mereka yang hadir di situ pada hari itu.

Tidak ada yang bisa menerjemahkan pesan Salman Rusydi.

BERSAMBUNG

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun