Ibu bilang akan menjadi pelajaran yang baik bagi kami untuk mengumpulkan kelopak magnolia yang jatuh di pekarangan.
Pohonnya bahkan bukan pohon kami. Pohon itu menjangkau dari taman halaman sebelah dan menjatuhkan kelopaknya di teras kami, menutupinya dengan tetesan air mata merah muda dan putih.
Adikku dan aku menyusunnya. Dia membungkuk dan aku duduk di atas keramik yang dingin, lembap merembes ke pantatku, menggenggam dua atau tiga kelopak sekaligus dan memasukkannya ke dalam kantong sampah hitam.
Kelopak magnolia lembut seperti sutra dengan sedikit berlendir dan berlapis-lapis seperti bawang, Kamu bisa mengupasnya  dengan hati-hati atau menekuknya menjadi dua dengan jepretan yang kuat. Di sepanjang tepi yang patah, putih mutiara akan berubah menjadi cokelat, pembusukan yang terlihat seketika.
Aku suka mendorong ibu jariku ke dalamnya, memberi kesan bulan separuh dan menyaksikan noda setengah lingkaran coklat muncul di permukaan putih susu. Kehancuran yang disengajakan.
Adikku dan aku bekerja tanpa henti sampai selesai. Sebuah anggukan dari ibu dan kami kembali bermain, kembali berkelahi, kembali ke rumah.
Keesokan paginya, teras itu ditutupi lebih banyak kelopak putih daripada sebelumnya, seolah-olah telah dating badai salju di malam hari. Seolah-olah bukan awal musim bunga mekar.
Ibu memberi kami kantong sampah hitam lagi.
Ini akan menjadi pelajaran yang baik buat kalian, katanya.
Bandung, 15 Oktober 2022
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H