Dia menatap. Dan menatapnya lagi.
Dia melihat jam barbie-nya. Saat itu baru pukul 18:30. Dia mendesah.
Apa yang bisa dia lakukan untuk menghabiskan waktu sambil menunggu tengah malam, saat matanya menyapu toko yang dipenuhi dengan camilan dan oleh-oleh khas Bandung?
Dia berjalan berkeliling toko, menyebut nama-nama semua barang yang dipajang berikut harga yang dia ingat dan kembali memutar sekali lagi, melakukan hal yang sama tapi mengeja secara terbalik.
Kemudian dia menuju kasir, berdiri di seberangnya, dengan mata tertuju pada dinding di belakangnya.
Tembok yang bagus. Kokoh. Seperti fungsi tembok mana pun. Melakukan semua hal yang seharusnya dilakukan oleh tembok yang bagus. Menahan langit-langit, dan untuk menggantung barang di permukaannya.
Tapi juga tidak nyata.
Citraloka sudah menjelaskan padanya. Dinding itu nyata dan tidak nyata pada saat bersamaan.
Seperti rasa takut, kata Citraloka. Jika kamu melihatnya, maka ia ada di sana, tetapi jika tidak, maka dinding itu akan lenyap di udara.
Ataya bisa melihat dinding di sana sekarang, dan dia menarik napas dalam-dalam dan mengeluarkan perlahan-lahan. Dia mengosongkan pikirannya seperti yang diajarkan Citraloka padanya, seperti dia telah mengajarinya sejak dia masih kecil.