Prima menunggu di ujung jembatan. Pada pukul delapan hari sudah gelap, tetapi sungai itu bagai kaca di antara bukit-bukit yang terjal, memancarkan cahaya pucat. Dari jarak dekat, dua orang pria merokok dan mengobrol. Mereka menjauh menghindari kemurungan Prima. Dia mengira mereka membicarakannya selayaknya membicarakan orang mati.
Terdengar bunyi peluit menjerit. Bukit-bukit bergemuruh. Sambil melemparkan rokok mereka ke dalam sungai, orang-orang itu bergabung kembali dengan Prima. Dia mengeluarkan topeng itu dari sakunya, dan menyembunyikan wajahnya di balik penutup merah.
Kereta itu melesat melintasi jembatan, percikan api keluar dari roda-rodanya. Ketika akhirnya berhenti, dengan terengah-engah kedua pria itu melompat ke atas.
 Prima menyandarkan dirinya di sisi gerbong dan melihat mereka muncul kembali, menuntun orang ketiga yang mengenakan topeng merah di atas setelan cokelat polos. Dia mendengar suara serak yang tidak wajar dari balik topeng.
"Aku tidak mengharapkan kalian muncul secepat ini, teman-teman."
Kegembiraan mengusir perasaan gundah dari otak Prima. Tugas mereka kelihatannya akan berhasil. Masduki tidak curiga bahwa dia berada di tangan polisi. Prima juga memperhatikan ketika dia memasuki gerbong kereta para penumpang tidak menyadari pergantian itu. Dia membenci pandangan jijik mereka kepadanya. Sikap Masduki terhadap kehidupan menjadi dapat dipahami. Namun, seiring dengan melajunya kereta, Prima menjadi gelisah. Dia menyadari dia bagai seorang yang memasuki gua gelap tanpa cahaya. Dia harus merasakan jalannya selangkah demi selangkah. Dia harus berjalan membabi buta menuju perangkap yang tak terhitung banyaknya dan fatal.
Akhirnya kereta berhenti karena harus menunggu kerta lain. Meskipun dia tahu bahwa biasanya tidak ada penumpang yang akan naik dari tempat ini, dia menatap dengan cemas dari jendela. Seorang pria berdiri di dekat rel dengan niat yang jelas untuk memasuki kereta. Prima melihatnya menghindari seorang tukang rem, menggenggam pagar dan mengayunkan dirinya agar tidak terlihat. Sesaat kemudian pria itu masuk ke dalam gerbong kereta, berhenti, dan menatap tajam dengan rasa ingin tahu pada topeng merahnya.
Aura sosok muram, dipertegas oleh topi hitam yang ditarik rendah di atas mata. Namun, itu membuat Prima melihat wajah yang tajam dan pucat yang menunjukkan kesan wibawa yang luar biasa.
Setelah beberapa saat, pria kurus itu membungkuk dan berbicara dengan tatapan sinis.
"Kamu pasti seorang penjudi ulung jika dilihat dari wajahmu."