Minggu pertama di kampus masih terasa asing bagi Rano. Dia selalu hadir di setiap perkuliahan kelas dan berjalan pulang ke asrama. Dan mengetahui letak masjid, kehidupannya berputar di sekitar kampus, ruang kuliah, perpustakaan, masjid---kadang-kadang---dan kembali ke asrama.
Kamarnya dengan tiga tempat tidur telah menjadi ruangan yang menampung lebih dari enam orang. Mahasiswa asal daerah yang kurang mampu menumpang nginap. Rano tidak berbagi tempat tidur, karena dipan dialokasikan berdasarkan siapa cepat dia dapat dan tempat tidurnya berukuran untuk satu orang.
Dia punya teman baru, Faisal. Sudah lebih dari tiga minggu di kampus dan dia belum pernah melihat Anhar. Dia sadar bahwa seperti inilah universitas, cerminan dari komunitas lain yang berdiri sendiri.
Anhar yang diterima di Fakultas MIPA, gedungnya cukup jauh di seberang danau dari Fakultas Hukum. Menurut Rano, pertemanannya dengan Faisal bisa diibaratkan bagaimana dia berteman dengan Anhar tetapi dengan cara yang berbeda.
Perkenalan mereka dimulai pada hari pertama dia masuk ke ruang kuliah.
Beberapa mahasiswa baru mengobrol satu sama lain seolah-olah mereka telah saling mengenal sebelumnya. Berasal dari daerah kumuh di mana pendidikan dipandang sebagai pilihan terakhir, hanya sedikit dari lingkungannya yang melanjutkan pendidikan ke jenjang SMA, apalagi sampai kuliah. Ada beberapa yang mencoba, tetapi gagal saat SNMPTN dan menjadi frustasi lalu memilih terjun ke dunia kerja. Kurang dari sepuluh dari sebagian besar kelompok di sekolah menengah mereka melanjutkan studi pendidikan tinggi. Kalaupun ada, kebanyakan dari mereka berakhir di perguruan tinggi pendidikan, politeknik atau universitas yang belum terakreditasi.
Rano duduk dan matanya mengamati ke sana kemari tanpa ada yang dikenalnya. Satu-satunya teman baru yang dia kenal di kampus ini adalah Lola yang dia temui sewaktu registrasi. Tapi Lola berada di fakultas yang berbeda dan belum bertemu lagi sejak saat itu.
Rano menekan tombol Blackberry-nya untuk melihat waktu. Masih beberapa menit sebelum kuliah dimulai.
Seorang anak laki-laki masuk. Dia berpakaian rapi dan berkulit terang. Rano mengagumi pakaian dan penampilannya. Dia menduga anak itu akan menjadi salah satu cowok paling populer di kelas mereka.
Anak itu berjalan mendekat dan duduk di sampingnya. Rano menggeser kursinya sedikit agar dia bisa lewat.
"Terima kasih," kata anak laki-laki itu.
Rano mengangguk. Dosen masuk dan mendadak ruangan menjadi sunyi. Beberapa mahasiswa yang berdiri dengan cepat menempati kursi tempat duduk mereka.
Rano melihat ke depan dan melihat seorang gadis menatapnya. Dia tersenyum padanya, tapi cewek itu malah memalingkan wajah dan mencolek temannya. Mereka bergosip entah tentang apa.
Dosennya, seorang pria berusia awal lima puluhan, menyesuaikan kacamatanya, sementara tangannya menggenggam spidol warna warni. Rambutnya lebih banyak yang yang putih perak, membuatnya berwibawa.
Rano mengaguminya dan tersenyum, membayangkan bagaimana jadinya dirinya ketika dia akhirnya tua. Saat itu umurnya hampir delapan belas beberapa lembar janggut mulai teraba di dagunya.
"Saya lihat beberapa wajah yang mengulang mata kuliah ini---" kata dosen.
Anak laki-laki di sebelahnya menjawil tangan Rano. "Hei, kamu mengulang juga?" dia bertanya.
"Tidak, ini pertama kali," jawab Rano.
"Oh, pantas aku baru melihatmu untuk pertama kalinya."
"Aku juga. Kita cukup banyak di kelas. Aku melihat lebih dari dua ratus siswa dalam daftar penerimaan. Kamu tidak bisa mengenal semua orang dalam beberapa minggu."
Anak laki-laki itu memutar matanya. "Yah, kupikir kamu baru. Kamu tampak tenang dan tidak berbicara dengan siapa pun ketika aku masuk."
Rano ingin tertawa tapi menutup mulutnya. Dia mendongak dan melihat dosen itu menatapnya. Rano meluruskan ekspersi wajahnya. Dosen melanjutkan kuliahnya.
"Kalian harus serius belajar. Ingat jumlah SKS dan IPK yang harus kalian capai di semester genap nanti. Jangan sampai kalian terlambat menyadari bahwa kalian telah menyia-nyiakan satu tahun yang seharusnya kalian manfaatkan sebaik-baiknya dengan untuk menaikkan IPK. Hukum bukanlah hal yang mudah untuk dipecahkan dan semakin lama akan semakin sulit untuk mendapat nilai bagus. Jika IPK kalian biasa saja, maka kalian...."
Anak laki-laki itu mencolek Rano lagi, tapi dia memberi isyarat bahwa dia sedang berkonsentrasi. Semua orang mengeluarkan buku catatan. Dosen mulai mengajar.
***
Kuliah berlangsung satu jam lima belas menit dan sebelum waktu habis, dosen memberi tugas. Anak laki-laki itu meletakkan bolpoinnya segera setelah dosen mendiktekan kata terakhir.
"Maaf, aku tak bermaksud mengganggumu," katanya sambil menoleh ke arah Rano.
"Tidak masalah," kata Rano.
Anak laki-laki itu ingin berbicara tetapi dosen menyela, mengangkat jari dan berteriak, "Adik-adik, tolong tenang sebentar."
Ruangan menjadi tenang. "Saya lupa memperkenalkan diri. Nama saya Dr. Mahmud DM, SH," katanya lalu berjalan keluar dari ruangan kuliah.
"Faisal," kata anak laki-laki itu dan mengulurkan tangannya.
Rano membalas jabat tangannya sambil menyampirkan tasnya ke bahu. "Maaf juga, namaku Rano."
"Nama yang bagus, seperti nama artis yang main sinetron anak sekolahan."
Sejak itu, mereka selalu terlihat bersama. Siapapun yang datang ke ruang kuliah lebih awal, akan menyediakan tempat duduk untuk yang lain. Mereka juga hampir selalu bareng ke kantin fakultas setelah jam kuliah berakhir.
BERSAMBUNG
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H