Mohon tunggu...
Ikhwanul Halim
Ikhwanul Halim Mohon Tunggu... Editor - Penyair Majenun

Father. Husband. Totally awesome geek. Urban nomad. Sinner. Skepticist. Believer. Great pretender. Truth seeker. Publisher. Author. Writer. Editor. Psychopoet. Space dreamer. https://web.facebook.com/PimediaPublishing/ WA: +62 821 6779 2955

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Rusunawa (Bab 35)

9 Oktober 2022   12:45 Diperbarui: 9 Oktober 2022   12:51 111
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
dok. pri. Ikhwanul Halim

Rano berdiri di depan pintu kamar asrama dengan koper di tangan. Dia sendiri yang menyeret koper dengan roda kecil itu sampai ke depan kamar. Dia melihat ke atas tangga yang menuju lantai dua. Seorang anak laki-laki berdiri di lantai dua dan menatapnya dan tersenyum. Fisiknya kekar dan dia mengenakan kaus tanpa lengan yang memperlihatkan otot bisepnya yang menggelembung. Rano mengira dia ingin berkenalanan dan tersenyum padanya, tapi anak itu tidak membalas senyum Rano. Dia menyandarkan tubuhnya ke pagar besi pengaman lantai ke tangga dan melipat tangannya sambil menatap Rano. Rano mengabaikannya dan masuk ke dalam kamarnya yang tak terkunci. Kamar itu bersih tapi berdebu.

Rano mengatur pakaiannya ke dalam lemari. Kamar itu untuk tiga orang dengan tiga lemari dan tiga tempat tidur. Lalu membersihkan debu dengan kain lap yang dibawanya dari rusunawa.

Setelah selesai, Rano berdiri mengagumi hasil kerjanya sendiri, sampai terdengar suara ketukan di pintu. 

"Masuk saja. Tidak dikunci, kok," serunya, menghapus keringat yang bercucuran dari dahi. Rano menarik tali yang berfungsi untuk menyalakan kipas angin dinding.

Pintu diketuk lebih keras lagi.

Dia berjalan menuju pintu, memegang gagang pintu, tapi pintu sudah langsung terbuka, nyaris menghantam wajahnya. Anak laki-laki yang dilihatnya di tangga berdiri di ambang pintudengan sebatang rokok terjepit di tangannya. Dia mengembuskan asap rokok ke wajah Rano. Selain bau asap tembakau, samar-samar tercium bau alkohol bercampur aroma keringat yang asam.

Rano menaksir dia dan bocah itu memiliki tinggi yang persis sama, hanya saja tubuhnya lebih kekar dari Rano. Mungkin karena olahraga atau steroid. Gayanya persis preman pasar.

Rano menatapnya dari ujung kepala sampai ujung kaki, lalu ke wajahnya dan tersenyum. Namun anak lelaki di depannya tak membalas senyumnya. Sebaliknya, dia mengencangkan raut wajah.

"Hai, anak baru," katanya. Matanya tampak merah dan redup.

Apa yang dilakukan orang seperti ini di kampus? Pikir Rano sambil terus menatapnya.

Anak itu mengusap ujung hidungnya dengan tangannya, meniru gaya mendiang Bruce Lee.

"Bawa makanan? Aku lapar."

Rano telah membuka wadah Tupperware dan harum sup memenuhi udara. Dia masih bisa mencium aromanya.

"Aku mencium bau masakan. Bagi sepiring dengan nasi sekalian," ucap si anak acuh tak acuh.

Rano bimbang sebelum akhirnya menjawab. "Aku hanya punya sup dan kalau kamu mau, aku akan memberimu sedikit. Tapi aku tidak punya nasi. Kamu bisa memasaknya sendiri."

Kamar di seberang mereka langsung terbuka dan seorang anak laki-laki melongok keluar. Dia memandang mereka, tertawa dan berjalan ke arah yang menurut dugaan Rano adalah tempat toilet asrama.

"Kamu menyuruhku memasak nasi?" kata anak laki-laki itu dengan nada rendah tapi mengancam.

Suaranya serak. Dia meludah ke lantai dan Rano menggeser kakinya sedikit dan melihat dengan jijik pada gumpalan dahak di lantai keramik. Mengerutkan wajahnya dengan marah, dia mengomel. "Apa-apaan, sih? Kalau enggak mau, ya sudah," kata Rano. "Kamu tidak bisa begitu saja datang ke kamarku dan meludah sembarangan. Aku belum kenal kamu, kamu tidak mengenalku. Jadi, sebaiknya jangan cari masalah."

Suaranya pelan dan tenang, tetapi tak urung menarik perhatian penghuni asrama lainnya. Mereka berdiri di depan pintu kamar masing-masing dan mengintip ke luar. Beberapa keluar dan menatap mereka. Dalam sekejap, lantai satu ramai dengan mahasiswa, semuanya diam.

"Kau menantang aku?" anak itu bertanya.

Rano tak menjawab, hanya balas menatap tajam. Dia berusaha mengencangkan kulit wajahnya agar penampilannya sesuai dengan bibirnya yang tak tersenyum.

Anak laki-laki itu mendorongnya dan memegang lehernya dengan tangan. Rano menangkap tangan, memuntirnya, lalu ke melemparkannya beserta tubuh pemiliknya ke dinding.

"Horeee!" para penonton memekik.

"Hajar!" kata suara lain.

Dengan marah, anak laki-laki itu menerjang Rano dan melontarkan kepalan tinjunya, tetapi Rano mengelak dan melepaskan pukulan balasan ke pipi si penyerang sehingga anak laki-laki itu jatuh tersungkur ke lantai, terbawa oleh bobotnya sendiri.

"Jiah! Salamander keok!" suara teriakan dari penonton.

Para petugas asrama mendadak menyerbu masuk dan baru menyadari kalau yang tergeletak di lantai kamar Rano adalah Salamander. Bahkan, satpam kampus takut padanya.

Ini akan menjadi tahun ketiga Salamander sebagai mahasiswa Fakultas Ekonimi dengan nilai pas-pasan. Jika tahun ini dia gagal, maka akan dikeluarga dari kampus. Seorang petugas asrama menahan dan menenangkannya.

Dengan napas terengah-engah dan keringat membasahi sekujur wajahnya, Rano bertanya-tanya apa yang akan terjadi jika pukulan itu menyentuhnya.

Para petugas asrama memapah Salamander ke kamarnya. Beberapa penghuni asrama mengerumuni Rano.

"Kamu enggak apa-apa? Sebaiknya mulai sekarang kamu hati-hati. Ada orang-orang yang lebih baik dihindari dari pada jadi masalah," beberapa anak mengingatkannya.

 

BERSAMBUNG

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun