"Ada keheningan menyelimuti di balairung istana. ruangan. Mereka semua bisa merasakan kebenaran yang dingin dalam kata-katanya."
"Dan kemudian, 'Apa yang kamu minta sebagai upah jerih payah mengobati baginda Raja?' Pandita Bunjangga Manik bertanya dengan suara tercekat."
"'Kalian memiliki sebuah kalung yang sangat tua dan sangat unik. Benda itu disimpan di bilik pribadi Raja kalian. Tiga batu permata hitam dalam bentuk air mata sebagai hiasan. Aku menginginkannya,' kata si Penyihir."
"Ratu hendak membuka mulut akan mengatakan sesuatu, tapi pandita menyela. 'Akan menjadi milikmu,' katanya, 'apapun yang kamu butuhkan untuk membantumu, kami akan berikan.'"
"'Aku mau mandi,' jawab penyihir sambil menggaruk ketiaknya, mencium ujung jarinya dan meringis, 'dan seorang yang membantuku mencari bahan untuk menyembuhkannya.' Dia melihat sekeliling ruangan dan melihat prajurit termuda itu masih berdiri tegak mematung di sana. 'Kamu,' katanya sambil menunjuk padanya, 'siapa namamu?'
"Kaniya,' gadis muda itu menjawab dengan dagu terangkat, seperti yang diajarkan padanya di padepokan tantri."
"'Kaniya,' suara penyihir itu menggema seolah sedang mencicipi nama itu. 'Kamu akan menjadi ajunku dan sebelum matahari sepenggalah besok, kita akan menemukan obat untuk penyakit raja. Sekarang, rayi, "katanya sambil memandang pandita, 'bak mandi dan kalung.'
"'Kalung pembayaranmu akan diberikan setelah Baginda Raja sembuh dari gering,' kata Ratu, 'tidak sebelumnya.'"
"Penyihir itu tidak mengatakan apa-apa untuk waktu yang lama sambil menatap Ratu tanpa berkedip, lalu berkata, 'Jadilah.'"
"Pemandian penyihir telah diatur, dan pakaian baru diberikan kepadanya saat para pelayan berkumpul di sekelilingnya mencuci dan mengepang rambutnya, sementara Kaniya berdiri siaga mengawasi, tangannya mencengkeram tombak."
Si kecil Dikdik menguap, dan perempuan tua itu tersenyum saat dia menyalakan api, mengirimkan percikan api ke udara.
"Setelah semuanya selesai," perempuan tua itu melanjutkan, "penyihir mengajak Kaniya melalui Hutan Nirmala yang angker di mana mereka akan menemukan bahan yang akan dia gunakan untuk menyembuhkan raja. Penyihir itu berjalan ke dalam hutan tanpa rasa takut, tapi Kaniya tampak senewen, menggenggam tombaknya dengan erat. Mereka mencapai lokasi dan penyihir itu menghidu mencium udara, laluberhenti. Seekor kucing hitam seperti yang mereka temukan di gubuknya, muncul dari balik pepohonan dan mendengkur di kakinya. Penyihir itu tersenyum dan mengelus punggung hewan itu."
"'Mengapa kita berhenti, Penyihir?' tanya Kaniya. Penyihir itu hanya menoleh dan menyeringai.
"'Genggam tanganku,' katanya."
Kaniya memandang tangan itu dengan ketakutan. 'Tidak,' katanya."
"'Aku tidak tahu berapa lama kita akan bertahan hidup,' kata penyihir itu. 'Kemungkinan besar dia telah mengirim seseorang untuk mengejar kita. Waktu tidak berpihak kepada kita. Jadi, Kaniya, pegang tanganku.'"
"'Siapa yang akan mengirim orang untuk mengejar kita?' Kaniya bertanya, hampir tertawa. 'Aku prajurit istana kerajaan Galuh. Telah kutilik jejak kita saat berjalan. Tidak ada yang mengikuti dari belakang.'"
"Penyihir itu tidak mengatakan apa-apa. Dia hanya mengulurkan tangannya yang disambut Kaniya dengan enggan. Â Tangan itu begitu, terlalu dingin bagi siapa pun yang hidup. Tetap saja, dia bertahan. Dan penyihir itu memeluk tubuhnya."
"Ada hal-hal yang dengan mudah dimengerti, anak-anak. Hal-hal yang bisa diucapkan dengan kata-kata. Begitulah cara kita meneruskan berita dari orang ke orang. Itu adalah cara kita manusia."
"Tapi penyihir, tidak sepenuhnya manusia."
"Kaniya tersentak saat pengetahuan mengalir ke dalam kepalanya dari penyihir dengan percikan api biru saat penyihir itu menutup matanya dan berkonsentrasi. Waktu seakan berhenti mengalir. Dan ketika berakhir, Kaniya tersentak menjauh dari penyihir itu, mengacungkan tombaknya."
"'Apa itu tadi?' Kaniya menuntut. 'Katakan padaku, Penyihir!' Ujung tombaknya mengarah ke dada penyihir itu."
"Tombak itu bukan sembarangan tombak. Dibuat dari batu bintang dan didinginkan dengan darah musuh Tarumanegara dan Galuh. Tombak yang dengan mudah membelah tubuh musuh seperti daun pisang dibelah pisau. Tapi si penyihir hanya tersenyum. 'Kamu sudah melihatnya, bukan?' katanya."
"'Kamu bohong!' bentak Kaniya sambil mengertakkan gigi."
"'Untuk apa aku berbohong? Tidak punya alasan untuk itu,' kata penyihir itu. "Aku di sini hanya untuk kalungku."
"'Kalung itu telah ada di penjaga istana selama lebih dari seratus tahun,' Kaniya berkata, 'bagaimana itu bisa menjadi milikmu?'"
"Penyihir itu menutup mukanya dengan kedua telapak tangannya. 'Aku sangat ceroboh saat itu,' katanya penuh penyesalan. "Aku sedang punya masalah."
"Kucing itu mengeong mencari perhatian pemiliknya, dan mata penyihir itu membelalak."
"'Di belakangmu!' dia berseru."
BERSAMBUNG
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H