Beberapa perempuan duduk di atas tikar panjang sementara wajah mereka tampak tegang. Dia menyapa mereka dan mereka menatapnya dengan wajah yang tak terlalu ceria saat membalas sapaannya.
Mencoba untuk mengatasi kegugupannya, Rano masuk ke dalam kamar. Suti duduk di lantai sambil memeluk erat kaki Mama. Dia berbalik perlahan karena merasakan kedatangan Rano. Dia ingin berbicara tetapi tak mampu berkata-kata. Matanya merah sembap. Dua orang perempuan mengapit Mama. Yang satu adalah istri satu-satunya saudara laki-laki Papa dan yang lainnya adalah teman Mama.
Rano menjatuhkan amplop yang ada di tangannya ke lantai sehingga isinya menyebar berserak ke mana-mana.
"Ada apa? Apa yang terjadi?"
Teman mamanya segera berdiri dan memegang erat Rano. "Tolong jangan menangis. Kamu laki-laki. Yang perempuan sudah menangis dari tadi. Kamu perlu menghibur mereka. Tidak apa-apa."
Rano berusaha keras untuk tidak menangis tetapi air mata tetap menggenang di pelupuk matanya. Tangannya menutupi mulutnya. Dia berusaha untuk tidak berteriak meski hatinya sangat pedih. Dia menatap Mama yang makin membuat air matanya mengucur deras. Rambut Mama kusut masai. Mama sudah berhenti menangis, hanya menatap semua orang dengan tatapan kosong.
Adik Papa memandikan jenazah Papa dan mereka merencanakan penguburannya di kampung Nenek dari Papa. Ketika saat penguburan tiba, mereka berangkat ke kampung Nenek di Sumedang untuk mengatur pemakaman.
Kakek dari Papa suku Jawa, tetapi Nenek berasal dari Sumedang. Mama dan anak-anaknya ditegur mengapa tidak pernah mudik ke kampung selama ini. Terakhir kali mereka berkunjung Rano baru berusia sembilan tahun.
Mama mewakili mendiang suami dan anak-anaknya, berkata "Maafkan kami," dia menyapa orang-orang perempuan keluarga papanya. "Karena keadaan menjadi buruk bagi kami, untuk mudik hampir tidak mungkin, itu sebabnya," katanya dalam bahasa Sunda.
Suti kagum dengan cara Mama berbicara bahasa Sunda. Dia belum pernah mendengar Mama berbicara dengan bahasa selain bahasa Indonesia, hanya Papa yang berbicara bahasa Jawa dan Sunda kepada penghuni rusunawa.
Setelah upacara pemakaman selesai, mereka kembali ke Jakarta untuk melanjutkan hidup.