Rano sadar bahwa Bini selalu menatapnya dengan tampang tak nyaman. Mata mereka saling beradu, dan Rano akan mengalihkan pandangannya. Ketika dia menatap lagi, mata perempuan itu tetap tertuju padanya.
Rano berdiri di halaman belakang setelah mengisi drum. Dia membawa ember berisi air yang tersisa untuk menyiram tanaman, Sebelumnya dia membantu papanya ke kamar mandi. Kesehatan papanya semakin memburuk sampai-sampai dia tidak bisa berjalan tanpa ada yang menuntunnya. Papa berjalan menggunakan tongkat.
Beban sudah terlalu berat untuk Mama Rano, sehingga dia meminta anak-anaknya untuk ikut merawat papa mereka. Suaminya hanya perlu dituntun untuk ke kamar mandi dan dia akan memandikan, membersihkannya dan melakukan hal-hal pribadi lainnya untuknya. Tubuh lelaki itu semakin lemah, butuh beberapa detik untuk memulai gerak.
Rano sangat berguna dalam membantu mamanya sejak dia tamat SMA dan menunggu dimulainya kuliah di universitas tempat dia diterima.
Saat Rano menyiram tanaman yang terlihat merana karena kekurangan air, seseorang menepuk pundaknya.
Dia berbalik kaget. Ternyata Bini.
Selain bertukar sapa sehari-hari, dia tidak pernah berbicara dengan Bini.
Bini menyeringai. "Bagaimana kabarmu?" dia bertanya.
Rano mengangguk malas, lalu berbalik untuk kembali menyiram tanaman.
"Tamat SMA lanjut ke mana? Kerja apa kuliah?" Bini bertanya.
Rano melihat kes sekiling untuk melihat jika ternyata Bini bertanya ke orang lain. Tapi di situ hanya ada mereka berdua.
Dia tidak pernah menyangka kalau Bini peduli padanya. Rasanya seperti dunia berubah menjadi permadani dan melayang di udara, sementara dia duduk di atasnya seperti Aladin.
Rano tersenyum memamerkan lesung pipi yang diwariskan oelh mamanya.
"Saya kuliah," katanya.
Mata Bini melotot. Dengan senyum terpaksa, mulutnya mengeluarkan tiruan bunyi mesin.
"Eeerrr---" dia tergagap dan gagal mengucapkan kata yang ada dalam benaknya.
Lalu Bini menggaruk kepalanya, mencoba untuk menguasai dirinya sendiri.
Rano memberikan senyuman dan dia membalas senyumannya juga. "
Selamat. Diterima di mana?" dia bertanya.
"UI," jawab Rano.
Dia jarang berbicara dengan siapa pun di kompleks rusunawa itu sebelumnya. Mereka semua berbicara dengan logat daerah masing-masing dan dia tidak tahu bagaimana caranya bergaul dengan mereka. Sekian lama tinggal di rusunawa telah membuatnya paham dialek dan logat lokal, tetapi dia tetap belum pernah tahu bagaimana cara mengucapkannya.
Suti jauh lebih luwes, dan dengan teman-temannya dia akan berbicara dengan logat lokal karena mereka tidak mengerti bahasa Indonesia bakunya.
Ketika Suti mencoba menjelaskan sesuatu kepada seorang perempuan yang menjual sesuatu di pusat rusunawa, perempuan itu menggeleng-gelengkan kepalanya.
"Neng, jujur aje, aye kagak ngarti si Eneng ngomong ape. Aye kagak sekolah, Cuma pesantren, entu juga anem bulan doang."
Suti tertawa dan beralih ke logat Betawi. Anak-anak di sekitarnya menertawakan intonasinya. Dia mengucapkannya perlahan-lahan karena takut keliru.
Rano kini yakin bahwa Bini berbicara dengannya. Kadang-kadang dia mendengar Bini berbicara dalam bahasa Indonesia, dan menduga bahwa perempuan itu berpendidikan, tidak seperti semua orang dia dengar berbicara dengan logat aneh.
Rano merasa dia bebas berbicara dengannya, dan ingin lebih berhubungan dengannya. Bini akan menerimanya sebagai warga rusunawa tetapi juga sebagai seorang remaja laki-laki yang dewasa, bukan lagi sebagai seorang remaja laki-laki yang naif yang akan berlari untuk bermain-main dengan siapa pun.
Darah Bini mendidih dan untuk meredakan emosinya dia mengembuskan napas panjang.
Apa yang aku inginkan untuk anakku sebagai anak pertama yang masuk universitas sehingga aku bisa sesumbar ke orang-orang bodoh ini, anak ini telah melakukannya, kata hati Bini dalam benaknya.
Anaknya bersekolah di SD favorit di selatan dan dia selalu menyombongkannya. Sopir antar jemput meminta agar anaknya menunggu setiap pagi di jalan utama di luar rusunawa, tapi Bini menolak. Jalan sempit bergelombang yang menuju ke komplek rusunawa membuat mobilnya berguncang hinga oleng, membuat para siswa berteriak ketakutan.
"Saya sudah membayar uang transportasinya dan kamu harus menjemputnya sampai ke depan pintu. Atau haruskah saya memindahkan anak saya dari sekolah kamu?" Bini mengamuk dengan penuh amarah.
Sopir bus menenangkannya dan mengikuti keinginannya. Jika Bini melaporkannya ke pengurus sekolah, dia akan dipecat padahal pekerjaan itu memberinya gaji bulanan tetap yang lumayan.
Baru pada sore hari Bini mengizinkan sopir menurunkan Mimi di jantung kompleks. Sopir bus akan menelepon dia terlebih dulu sebelum tiba di sana.
Bini ingin semua orang di situ tahu bahwa anaknya terdaftar di sekolah favorit dan dengan sebuah mobil datang menjemputnya setiap hari.
Itulah yang orang-orang miskin ini inginkan untuk anak-anak mereka, khayalannya melambung dalam benaknya.
Dia akan merasa bangga sekaligus kesal setiap kali anak-anak kecil di kompleks rusunawa itu tersenyum dan melongo padanya dan Mimi setiap kali dia turun dari mobil antar jemput dengan nama yayasan tertera di badan mobil.
"Jurusan apa?" Bini bertanya.
"Hukum," jawab Rano.
BERSAMBUNG
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H