Mohon tunggu...
Ikhwanul Halim
Ikhwanul Halim Mohon Tunggu... Editor - Penyair Majenun

Father. Husband. Totally awesome geek. Urban nomad. Sinner. Skepticist. Believer. Great pretender. Truth seeker. Publisher. Author. Writer. Editor. Psychopoet. Space dreamer. https://web.facebook.com/PimediaPublishing/ WA: +62 821 6779 2955

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Begal Rimba Tulang Bawang (Bab 28)

24 September 2022   08:00 Diperbarui: 24 September 2022   08:11 109
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
dok. pri. Ikhwanul Halim

Dengan mengerahkan seluruh kekuatannya ke lengan dan pinggang, Keti mengayunkan pedangnya saat pria bertopeng itu menyingkir ke kiri menghindari tusukan keris seperti yang diharapkannya. Namun, lagi-lagi Keti terkejut karena pria bertopeng itu menepuk pedangnya di udara, membuatnya berhenti hanya beberapa jari dari lehernya.

"Hanya ini yang terbaik yang bisa kamu lakukan?" pria bertopeng itu bertanya dengan tenang. "Aku berharap kamu lebih bisa menghiburku daripada teman-temanmu."

Mendadak tangannya menarik rambut Keti yang linglung dan menanduk wajahnya dengan jidat. Keti yang terhuyung nyaris tersandung, masih dihadiahi kepalan tangan besinya. Gadis itu ambruk ke tanah, tertegun saat darah bercampur air mata membasahi wajahnya.

Naluri menggiringnya semakin menjauh, akibat ketakutan alami yang dirasakannya pada pria di depannya. Dia dicekam oleh kepanikan sehingga berharap bumi akan terbelah dan menelannya seperti yang dilakukan Ibu Pertiwi kepada Dewi Shinta daripada membiarkan pembunuh berdarah dingin itu menyentuhnya lagi.

Pria bertopeng itu mencabut pedang dari pinggangnya. Bilah logam panjang mematikan itu berkilauan di bawah sinar matahari yang memantul dari permukaannya. Keti menatap ujung pedang itu dan beringsut mundur sampai dirinya tak bisa lebih lebih jauh lagi karena di belakangnya terdapat setumpuk mayat yang menghalangi jalannya.

Keti sangat ketakutan saat pria bertopeng itu berhenti dua langkah darinya dan mengangkat pedangnya tinggi-tinggi.

Begitukah caraku mati? pikirnya.

Tepat sebelum pedang itu jatuh, sebatang anak panah melesat di udara dan memantul dari dada pria bertopeng itu. Dia tetap tidak terpengaruh dan tidak peduli, tatapannya hanya tertuju pada Keti.

Palupi menyaksikan dengan kaget dan tidak percaya ketika pria bertopeng itu berdiri tanpa cedera oleh anak panahnya. Dia mengambil tombak dari salah satu prajurit yang mati dan berlari ke arah Keti.

Keti menggigil saat merasakan mata di balik topeng itu menembus jiwanya. Terheran-heran, dia menyaksikan pria bertopeng itu menurunkan lengannya dan memasukkan pedangnya kembali ke dalam sarungnya.

"Ketahuilah, kamu hidup untuk melihat hari esok karena aku mengizinkannya," pria bertopeng itu berbisik dengan suara serak. "Ingat, aku bisa mencabut nyawamu kapan pun aku mau."

Dia lalu berjongkok di samping Keti dan membelai pipinya, "Aku punya sesuatu yang sangat kamu inginkan, Suketi. Seseorang yang selalu kamu rindukan untuk bertemu. Seseorang yang jauh ada di lubuk hatimu. Datanglah kepadaku karena hanya aku yang dapat memberikan pernawaran yang sangat berharga ini kepadamu. Temui aku di puncak bukit tengah malam saat bulan di atas kepala. Kamu akan datang karena aku memintamu, dan kamu harus datang seorang diri."

Dia berdiri tegak dan menatap Keti yang basah oleh keringat dingin ketakutan, lalu melirik ke kiri ke arah Palupi yang berdiri memegang tombak dengan tangan gemetar.

"Majulah jika kamu ingin mati," katanya dengan dingin.

Kemudian, pria bertopeng itu berjalan pergi dan menghilang di tengah-tengah pertempuran yang hampir berakhir.

Palupi berjongkok di samping Keti yang duduk terpaku menatap dengan tatapan kosong. Ganbatar bergegas ke sisi Janar yang tidak sadarkan diri dan menggendongnya dengan cepat dan membawanya menemui Resi Umbara untuk diobati.

Bertahun-tahun kemudian, warga Tudung Tenuk akan berbicara tentang hari saat lima orang pahlawan gagah perkasa yang menyelamatkan desa mereka dari kehancuran. Namun bagi para begal itu sendiri, hari itu akan selamanya menyimpan kenangan pahit karena mereka menderita kekalahan telak dan nyaris kehilangan nyawa.

BERSAMBUNG

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun